Di
awal abad 14 M, kerajaan Blambangan diperintah oleh Prabu Mena Sembuyu, salah
seorang keturunan Prabu Hayam Wuruk dari kerajaan Majapahit. Raja dan rakyatnya
memeluk agam Hindu dan sebagian ada yang memeluk agama Budha.
Pada suatu hari Parbu Menak
Sembuyu gelisah, demikian pula permaisurinya pasalnya puteri mereka
satu-satunya jatuh selama beberapa bulan. Sudah diusahakan mendatangkan tabib
dan dukun untuk mengobati tapi sang puteri belum sembuh juga.
Memang
pada waktu itu kerajaan Blambangan sedang dilanda wabah penyakit. Banyak sudah
korban berjatuhan. Menurut gambaran babad tanah jawa esok sakit sorenya mati.
Seluruh penduduk sangat prihatin, berduka dan hampir semua kegiatan sehari-hari
menjadi macet total.
Atas
saran permaisuri Prabu Menak Sembuyu mengadakan sayembara, siapa yang dapat
menyembuhkan puterinya akan diambil menantu dan siapa yang dapat mengusir wabah
penyakit di Blambangan akan diangkat sebagai Bupati atau Raja Muda. Sayembara
disebar hampir keseluruh pelosok negeri. Tapi sudah berbulan-bulan tidak
juga ada yang dapat memenangkan sayembara tersebut.
Permaisuri
makin sedih hatinya, prabu Menak Sembuyu berusaha menghibur isterinya dengan
menugaskan Patih Baju Sengara untuk mencari pertapa sakti guna mengobati
penyakit puterinya.
Diiringi
beberapa prajurit pilihan, Patih Baju Sengara berangkat melaksanakan tugasnya. Para pertapa biasanya tinggal dipuncak lereng-lereng
gunung, maka kesanalah tujuan Patih Bajul Sengara.
Patih
Bajul Sengara akhirnya bertemu dengan Resi Kandabaya yang mengetahui adanya
tokoh sakti dari negeri seberang. Orang yang dimaksud adalah Syekh Maulana
Ishak yang sedang berdakwah secara sembunyi-sembunyi dinegeri Blambangan.
Patih
Bajul Sengara bertemu dengan Syekh Maulana Ishak yang sedang bertafakkur
disebuah goa. Syekh Maulana Ishak mau mengobati puteri Prabu Menak Sembuyu
dengan syarat Prabu mau masuk atau memeluk agama Islam. Syekh Maulana Ishak
memang piawai dibidang ilmu kedokteran, puteri Dewi Sekar Dadu sembuh sekali diobati.
Wabah penyakit juga lenyap dari wilayah Blambangan. Sesuai janji Raja maka
Syekh Maulana Ishak dikawinkan dengan Dewi Sekardadu. Kemudian diberi kedudukan
sebagai Adipati untuk menguasai sebagian wilayah Blambangan.
2. Hasutan Sang Patih
Tujuh
bulan sudah Syekh Maulana Ishak menjadi adipati baru di Blambangan, makin hari
semakin bertambah banyak penduduk Blambangan yang memeluk agama Islam.
Sementara Patih Bajul Sengara tak henti-hentinya mempengaruhi sang prabu dengan
hasutan-hasutan jahatnya. Hati Prabu Menak Sembuyu jadi panas mengetahui hal
ini.
Patih
Bajul Sengara sendiri sepengetahuan sang Prabu sudah mengadakan teroe pada
pengikut Syekh Maulana Ishak. Tidak sedikit penduduk Kadipaten yang dipimpin
Syekh Maulana Ishak diculik, disiksa dan dipaksa kembali pada agama lama.
Pada
saat itu Dewi Sekardadu sedang hamil tujuh bulan, Syekh Maulana Ishak sadar
bila diteruskan akan terjadi pertumpahan darah yang seharusnya tidak perlu.
Kasihan rakyat jelata yang harus menanggung akibatnya. Maka dia segera pamit
kepada isterinya untuk meninggalkan Blambangan.
Akhirnya,
pada tengah malam dengan hati yang berat karena harus meninggalkan isteri
tercinta yang hamil tujuh bulan, Syekh Maulana Ishak berangkat meninggalkan
Blambangan seorang diri. Esok harinya sepasukan besar prajurit Blambangan yang
dipimpin Patih Bajul Sengara menerobos masuk wilayah Kadipaten yang sudah
ditinggalkan Syekh Maulana Ishak.
Dua
bulan kemudian dari rahim Sekardadu lahir bayi laki-laki yang elok rupanya.
Sesungguhnya Prabu Menak Sembuyu dan permaisurinya merasa senagn dan bahagia
melihat kehadiran cucunya yang montok dan rupawan itu. Bayi itu lain daripada
yag lain, wajahnya mengeluarkan cahaya terang.
Lain
halnya dengan Patih Bajul Sengara, dibiarkannya bayi itu mendapat limpahan
kasih sayang keluarganya selama empat puluh hari. Sesudah itu dia menghasut
Prabu Menak Sembuyu. Kebetulan pada saat itu wabah penyakit berjangkit kembali
di Blambangan, maka Patih baju Sengara berulah lagi..
Bayi
itu! Benar Gusti Prabu! Cepat atau lambat bayi itu akan menjadi bencan
dikemudian hari. Wabah penyakit inipun menurut dukun-dukun terkenal
diBlambangan ini disebabkan adanya hawa panas yang memancar dari jiwa bayi itu!
Kilah patih Bajul Sengara dengan alasan yang dibuat-buat.
Sang
Prabu tidak cepat mengambil keputusan, dikarenakan dalam hatinya dia terlanjur
menyukai kehadiran cucunya itu. Namun sang Patih tiada bosan-bosannya menteror
dengan hasutan dan tuduhan keji yang akhirnya sang Prabu terpengaruh juga.
Walau
demikian tiada tega juga dia memerintahkan pembunuhan atas cucunya itu secara
langsung. Bayi yang masih berusia empat puluh hari dimasukkan kedalam peti dan
diperintahkan untuk dibuang ke samudera.
3. Joko Samudra
Pada
suatu malam ada sebuah perahu dagang dari Gresik melintasi selat Bali. Ketika perahu itu berada ditengah-tengah selat Bali tiba-tiba terjadi keanehan, perahu itu tidak dapat
bergerak, maju tak bisa mundurpun tak bisa.
Nahkota
memerintahkan awak kapal untuk memeriksa sebab-sebab kemacetan ini, meungkinkah
perahunya membentur karang. Setelah diperiksa ternyata perahu itu hanya
menabrak sebuah peti berukir indah, seperti peti milik kaum bangsawan yang
digunakan menyimpan barang berharga. Nahkoda memerintahkan mengambil peti itu.
Semua orang terkejut karena didalamnya terdapat seorang bayi mungil yang
bertubuh montok dan rupawan. Nahkoda merasa gembira menyelamatkan jiwa si bayi
mungil itu, tapi juga mengutuk orang yang tidak berprikemanusiaan.
Nahkoda
kemudian memerintahkan awak kapal untuk melanjutkan pelayaran ke pulau Bali. Tapi perahu tidak dapat bergerak maju. Ketika
perahu diputar dan digerakkan kearah Gresik ternyata perahu itu melaju
dengan cepatnya.
Dihadapan
Nyai Ageng Pinatih janda kaya raya pemilik Kapal Nahkoda berkata sambil membuka
peti itu. Peti inilah yang menyebabkan kami kembali ke Gresik dalam waktu
secepat ini. Kami tak dapat meneruskan pelayaran ke Pulau Bali, kata sang
nahkoda.
Bayi…?
Bayi siapa ini ? gumam Nyai Ageng Pinatih sembari mengangkat bayi itu dari
dalam peti.
Kami
menemukannya di tengah samudera selat Bali,
jawab nahkoda kapal.
Bayi
ini kemudian mereka serahkan kepada Nyai Ageng Pinatih untuk diambil sebagai
anak angkat. Memang sudah lama dia menginginkan seorang anak. Karena bayi ini
ditemukan di tengah smudera maka Nyai Ageng Pinatih kemudian memberinya
nama Joko Samudra.
Ketika
berumur 11 tahun, Nyai Ageng Pinatih mengantarkan Joko Samudra untuk berguru
kepada Raden Rahmat atau Sunan Ampel di Surabaya. Menurut beberapa sumber mula
pertama Joko Samudra setiap hari pergi ke Surabaya dan sorenya kembali ke Gresik. Sunan
Ampel kemudian menyarankan agar anak itu mondok saja dipesantren Ampeldenta
supaya lebih konsentrasi dalam mempelajari agama Islam.
Pada
suatu malam, seperti biasanya Raden Rahmat hendak mengambil air wudhu guna
melaksanakan sholat Tahajjud, mendoakan muridnya dan mendoakan umat agar
selamat di dunia dan di akhirat. Sebelum berwudhu Raden Rahmat menyempatkan
diri melihat-lihat para santri yang tidur di asrama.
Tiba-tiba
Raden Rahmat terkejut. Ada
sinar terang memancar dari salah seorang santrinya. Selama beberpa saat beliau
tertegun, sinar terang itu menyilaukan mata. Untuk mengetahui siapakah murid
yang wajahnya bersinar itu maka Sunan ampel memberi ikatan pada sarung murid
itu.
Esok
harinya, sesudah sholat subuh Sunan Ampel memanggil murid-muridnya itu.
Siapakah
diantara kalian yang waktu bangun tidur kain sarungnya ada ikatan? Tanya Sunan
Ampel.
Saya
Kanjeng Sunan…..ujar Joko Samudra.
Melihat
yang mengacungkan tangan adalah Joko Samudra, Sunan Ampel makin yakin bahwa
anak itu pastilah bukan anak sembarangan. Kebetulan pada saat itu Nyai Ageng
Pinatih datang untuk menengok Joko Samudra, kesempatan itu digunakan Sunan
Ampel untuk bertanya lebih jauh tentang asal-usul Joko Samudra.
Nyai
Ageng Pinatih menjawab sejujur-jujurnya. Bahwa Joko Samudra ditemukan ditengah
selat Bali ketika masih bayi. Peti yang
digunakan untuk membuang bayi itu hingga sekarang masih tersimpan rapi dirumah
Nyai Ageng Pinatih.
Teringat
pada pesan Syekh Maulana Ishak sebelum berangkat ke negeri Pasai maka Sunan
Ampel kemudian mengusulkan Nyai Ageng Pinatih agar nama anak itu diganti
menjadi Raden Paku. Nyai Ageng Pinatih menurut saja apa kata Sunan Ampel, dia
percaya penuh kepada wali besar yang dihormati masyarakat bahkan juga masih
terhitung seorang Pangeran Majapahit itu.
4. Raden Paku
Sewaktu
mondok dipesantren Ampeldenta, Raden Paku sangat akrab bersahabat dengan putera
Raden Rahmat yang bernama Raden Makdum Ibrahim. Keduanya bagai saudara kandung
saja, saling menyayangi dan saling mengingatkan.
Setelah
berusia 16 tahu, kedua pemuda itu dianjurkan untuk menimba ilmu pengetahuan
yang lebih tinggi di negeri seberang sambil meluaskan pengetahuan.
Di
negeri Pasai banyak orang pandai dari berbagai negeri. Disana juga ada ulama
besar yang bergelar Syekh Awwallul Islam. Dialah ayah kandung yang nama aslinya
adalah Syekh Maulana Ishak. Pergilah kesana tuntutlah ilmunya yang tinggi dan
teladanilah kesabarannya dalam mengasuh para santri dan berjuang menyebarkan
agama Islam. Hal itu akan berguna kelak bagi kehidupanmu di masa yang akan
datang.
Pesan
itu dilaksanakan oleh Raden Paku dan Raden Makdum Ibrahim. Dan begitu sampai di
negeri Pasai keduanya disambut gembira, penuh rasa haru dan bahagia oleh Syekh
Maulana Ishak ayah kandung Raden Paku yang tak pernah melihat anaknya sejak
bayi.
Raden
Paku menceritakan riwayat hidupnya sejak masih kecil ditemukan ditengah
samudera dan kemudian diambil anak angkat oleh Nyai Ageng Pinatih dan berguru
pada Sunan Ampel di Surabaya.
Sebaliknya
Syekh Maulana Ishak kemudian menceritakan pengalamannya di saat berdakwah di
Blambangan sehingga dipaksa harus meninggalkan isteri yang sangat dicintainya.
Raden
Paku menangis sesegukan mendengar kisah itu. Bukan menangis kemalangan dirinya
yang disia-siakan kakeknya yaitu Prabu Menak Sembuyu tetapi memikirkan nasib
ibunya yang tak diketahui lagi tempatnya berada. Apakah ibunya masih hidup atau
sudah meninggal dunia.
Di
negeri Pasai banyak ulama besar dari negeri asing yang menetap dan membuka
pelajaran agama Islam kepada penduduk setempat, hal ini tidak disia-siakan oleh
Raden Paku dan Maulana Makdum Ibrahim. Kedua pemuda itu belajar agama dengan
tekun, baik kepada Syekh Maulana Ishak sendiri maupun kepada guru-guru agama
lainnya.
Ada yang beranggapan bahwa Raden Paku dikaruniai Ilmu
Laduni yaitu ilmu yang langsung berasal dari Tuhan, sehingga kecerdasan otaknya
seolah tiada bandingnya. Disamping belajar ilmu Tauhid mereka juga mempelajari
ilmu Tasawuf dari ulama Iran,
Bagdad dan Gujarat yang banyak menetap di
negeri Pasai.
Ilmu
yang dipelajari itu berpengaruh dan menjiwai kehidupan Raden Paku dalam
perilakunya sehari-hari sehingga kentara benar bila ia mempunyai ilmu tingkat
tinggi, ilmu yang sebenarnya hanya dimiliki ulama yang berusia lanjut dan berpengalaman.
Gurunya kemudian memberinya gelar Syekh Maulana Ainul Yaqin.
Setelah
tiga tahun berada di pusat Pasai. Dan masa belajarnya itu sudah dianggap cukup
oleh Syekh Maulana Ishak, kedua pemuda itu diperintahkan kembali ke tanah jawa.
Oleh ayahnya, Raden Paku diberi sebuah bungkusan kain putih berisi tanah.
Kelak,
bila tiba masanya dirikanlah pesantren di Gresik, carilah tanah yang sama betul
dengan tanah dalam bungkusan ini disitulah kau membangun pesantren, demikianlah
pesan anahnya.
Kedua
pemuda itu kemudian kembali ke Surabaya.
Melaporkan segala pengalamannya kepada Sunan Ampel. Sunan Ampel memerintahkan
Makdum Ibrahim berdakwah di Tuban, sedangkan Raden Paku diperintah pulang
ke Gresik kembali ke ibu angkatnya yaitu Nyai Ageng Pinatih.
5. Membersihkan Diri
Pada
usia 23 tahun, Raden Paku diperintah oleh ibunya untuk mengawal barang dagangan
ke pulau Banjar atau Kalimantan. Tugas ini
diterimanya dengan senang hati. Nahkoda kapal diserahkan kepada pelaut
kawakan yaitu Abu Hurairah. Walau pucuk pimpinan berada di tangan Abu Hurairah
tapi Nyai Ageng Pinatih memberi kuasa pula kepada Raden Paku untuk ikut
memasarkan dagangan di Pulau Banjar.
Tiga
buah kapal berangkat meninggalkan pelabuhan Gresik dengan penuh muatan.
Biasanya, sesudah dagangan itu habis terjual di Pulau Banjar maka Abu Hurairah
diperintah membawa barang dagangan dari pulau Banjar yang sekiranya laku di
pulau Jawa, seperti rotan, damar, emas dan lain-lain. Dengan demikian
keuntungan yang diperoleh menjadi berlipat ganda, tapi kali tidak, sesudah
kapal merapat dipelabuhan Banjar, Raden paku membagi-bagikan barang dagangannya
dari Gresik itu secara gratis kepada penduduk setempat.
Tentu
saja hal ini membuat Abu Hurairah menjadi cemas. Dia segera memprotes tindakan
Raden Paku, Raden….kita pasti akan mendapat murka Nyai Ageng Pinatih. Mengapa
barang dagangan kita diberikan secara cuma-cuma?
Jangan
kuatir paman, kada Raden Paku. Tindakan saya ini sudah tepat. Penduduk Banjar
saat ini sedang dilanda musibah. Mereka dilanda kekeringan dan kurang pangan.
Sedangkan ibu sudah terlalu banyak mengambil keuntungan dari mereka, sudahkah
ibu memberikan hartanya dengan membayar zakat kepada mereka? Saya kira belum,
nah sekaranglah saatnya ibu mengeluarkan zakat untuk membersihkan diri.
Itu
diluar wewenang saya Raden, kata Abu Hurairah. Jika kita tidak memperoleh uang
lalu dengan apa kita mengisi perahu supaya tidak oleng dihantam gelombang dan
badai?
Raden
Paku terdiam beberapa saat. Dia sudah maklum bila dagangan habis biasanya Abu
Hurairah akan mengisi kapal atau perahu dengan barang dagangan dari Kalimantan. Tapi sekarang tak ada uang dengan apa
dagangan pulau Banjar akan dibeli.
Paman
tak usah risau, kata Raden Paku dengan tenangnya. Supaya kapal tidak oleng
isilah karung-karung kita dengan batu dan pasir.
Memang
benar, mereka dapat berlayar hingga dipantai Gresik dalam keadaan selamat. Tapi
hati Abu Hurairah menjadi kebat-kebit sewaktu berjalan meninggalkan kapal untuk
bertemu dengan Nyai Ageng Pinatih.
Dugaan
Abu Hurairah benar. Nyai Ageng Pinatih terbakar amarahnya demi mendengar
perbuatan Raden Paku yang dianggap tidak normal.
Sebaiknya
ibu lihat dulu pinta Raden Paku.
Sudah,
jangan banyak bicara. Buang saja pasir dan batu itu. Hanya mengotori
karung-karung kita saja hardik Nyai Ageng Pinatih.
Tapi
ketika awak kapal membuka karung-karung itu mereka terkejut. Karung-karung itu
isinya menjadi barang-barang dagangan yang biasa mereka bawa dari banjar,
seperti rotan, damar , kain dan emas serta intan. Bila ditaksir harganya jauh
lebih besar ketimbang dagangan yang disedekahkan kepada penduduk Banjar.
6. Perkawinan Raden Paku
Al-kisah
ada seorang bangsawan Majapahit bernama Ki Ageng Supa Bungkul ia mempunyai
sebuah pohon delima yang aneh didepan rumahnya. Setiap kali ada orang yang
hendak mengambil buah delima yang berbuah satu itu pasti mengalami nasib
celaka, kalau tidak ditimpa penyakit berat tentulah orang tersebut meninggal
dunia. Suatu ketika Raden Paku tanpa sengaja lewat didepan pekarangan Ki
Ageng Supa Bungkul. Begitu ia berjalan dibawah pohon delima tiba-tiba pohon itu
jatuh mengenai kepala Raden Paku.
Ki
Ageng Bungkul pun tiba-tiba muncul dan mencegat Raden Paku dan ia berkata, kau
harus kawin dengan puteriku Dewi Wardah.
Memang,
Ki Ageng Bungkul telah mengadakan sayembara, siapa saja yang dapat memetik buah
delima itu dengan selamat maka ia akan dijodohkan dengan puterinya yang bernama
Dewi Wardah. Raden Paku bingung menghadapi hal itu. Maka peristiwa itu
disampaikan kepada Sunan Ampel.
Tak
usah bingung, Ki Ageng Bungku adalah serang muslim yang baik. Aku yakin Dewi
Wardah juga seorang muslimah yang baik. Karena hal itu menjadi niat Ki Ageng
Bungkul kuharap kau tidak mengecewakan niat baiknya itu. Demikian kata Sunan
Ampel.
Tapi…….bukankah
saya hendak menikah dengan puteri Kanjeng Sunan Yaitu dengan Dewi Murtasiah
ujar Raden Paku.
Tidak
mengapa? Kata Sunan Ampel. Sesudah melangsungkan akad nikah dengan Dewi
Murtasiha selanjutnya kau akan melangsungkan perkawinan dengan Dewi Wardah.
Itulah
liku-liku perjalan hidup Raden Paku. Dalam sehari ia menikah dua kali. Menjadi
menantu Sunan Ampel, kemudian menjadi menantu Ki Ageng Bungkuk seorang
bangsawan Majapahit yang hingga sekarang makamnya terawat baik di Surabaya.
Sesudah
berumah tangga, Raden Paku makin giat berdagang dan berlayar antar pulau.
Sambil berlayar itu beliau menyiarkan agama Islam pada penduduk setempat
sehingga namanya cukup terkenal di kepulauan nusantara.
Lama-lama
kegiatan dagang tersebut tidak memuaskan hatinya, ia ingin berkonsentrasi
menyiarkan agama Islam dengan mendirikan pondok pesantren. Ia pun minta izin
kepada ibunya untuk meninggalkan dunia perdagangan.
Nyai
Ageng Pinatih yang kaya raya itu tidak keberatan, andaikata hartanya yang
banyak itu dimakan setiap hari dengan anak dan menantunya rasanya tiada akan
habis, terlebih juragan Abu Hurairah orang kepercayaan Nyai Ageng Pinatih
menyatakan kesanggupannya untuk mengurus seluruh kegiatan perdagangan miliknya,
maka wanita itu ikhlas melepaskan Raden Paku yang hendak mendirikan pesantren.
Mulailah
Raden Paku bertafakkur digoa yang sunyi, 40 hari 40 malam beliau tidak keluar
goa. Hanya bermunajat kepada Allah. Tempat Raden Paku bertafakkur itu hingga
sekarang masih ada yaitu desa Kembangan dan Kebomas.
Usai
bertafakkur teringatlah Raden Paku pada pesan ayahnya sewaktu belajar di negeri
Pasai. Dia pun berjalan berkeliling daerah yang tanahnya mirip dengan tanah
yang dibawa dari negeri Pasai.
Melalui
desa Margonoto, sampailah Raden Paku didaerah perbukitan yang hawanya sejuk,
hatinya terasa damai, ia pun mencocokkan tanah yang dibawanya dengan tanah
ditempat itu. Ternyata cocok sekali. Maka di desa Sidomukti itulah ia kemudian
mendirikan pesantren. Karena tempat itu adalah dataran tinggi atau gunung maka
dinamakanlah Pesantren Giri. Giri dalam bahasa sansekerta artinya gunung.
Atas
dukkungan isteri-isteri dan ibunya juga dukungan spiritual dari Sunan ampel,
tidak begitu lama hanya dalam waktu tiga tahun pesantren Giri sudah terkenal ke
seluruh nusantara.
Menurut
Dr.H.J. De Graaf, sesudah pulang dari pengembaraannya atau berguru ke negeri
Pasai, ia memperkenalkan diri kepada dunia, kemudian berkedudukan diatas bukit
di Gresik dan ia menjadi orang pertama yang paling terkenal dari Sunan-sunan
Giri yang ada. Diatas gunung tersebut seharusnya ada istana karena dikalangan
rakyat dibicarakan adanya Giri Kedatin (Kerajaan Giri). Murid-murid Sunan Giri
berdatangan dari segala penjuru, seperti Maluku, Madura, Lomnok, Makasar, Hitu
dan Ternate. Demikian menurut De Graaf.
Menurut
babad tanah jawa murid-murid Sunan Giri itu justru bertebaran hampir diseluruh
penjuru benua besar, seperti Eropa (Rum), Arab, Mesir, Cina dan lain-lain.
Semua itu adalah penggambaran nama Sunan Giri sebagai ulama besar yang sangat
dihormati orang pada jamannya. Disamping pesantrennya yang besar ia juga
membangun mesjid sebagai pusat ibadah dan pembentukan iman umatnya. Untuk para
santri yang datang dari jauh beliau juga membangun asrama yang luas.
Disekitar
bukti tersebut sebenarnya dahulu jarang dihuni oleh penduduk dikarenakan
sulitnya mendapatkan air. Tetapi dengan adanya Sunan Giri masalah air itu dapat
diatasi. Cara Sunan Giri membuat sumur atau sumber air itu sangat aneh dan gaib
hanya beliau seorang yang mampu melakukannya.
7. Peresmian Mesjid Demak
Dalam
peresmian mesjid Demak Sunan Kalijaga mengusulkan agar dibuka dengan
pertunjukkan wayang kulit yang pada waktu itu bentuknya masih wayang beber
yaitu gambar manusia yang dibeber pada sebuah kulit binatang.
Usul
Sunan Kalijaga ditolak oleh Sunan Giri, karena wayang yang bergambar manusia
haram hukumnya dalam ajaran Islam, demikian menurut Sunan Giri.
Jika
sunan Kalijaga mengusulkan peresmian mesjid Demak dengan membuka pagelaran
wayang kulit, kemudian diadakan dakwah dan rakyat berkumpul boleh masuk setelah
mengucapkan syahadat, maka Sunan Giri mengusulkan agar mesjid Demak diresmikan
pada saat hari Jum’at sembari melaksanakan Sholat jamaah Jum’at.
Sunan
Kalijaga berjiwa besar kemudian mengadakan kompromi dengan Sunan Giri. Sebelum
Sunan Kalijaga telah merubah bentuk wayang kulit sehingga gambarannya tidak
bisa disebut sebagai gambar manusia lagi, lebih mirip karikatur seperti bentuk
wayang yang ada sekarang ini.
Sunan
Kalijaga membawa wayang kreasinya itu dihadapan Sidang para wali. Keran tidak
bisa disebut gambar manusia maka akhirnya Sunan Giri menyetujui wayang kulit
itu digunakan sebagai media dakwah.
Perubahan
bentuk wayang kulit itu adalah dikarenakan sanggahan Sunan Giri. Karena itu
Sunan Kalijaga memberi tanda khusus pada momentum penting itu. Pemimpin para
dewa dalam pewayangan oleh Sunan Kalijaga dinamakan Sang Hyang Girinata yang
arti sebenarnya adalah sunan Giri yang menata.
Maka
perdebatan tentang peresmian mesjid Demak bisa diatasi. Peresmian itu akan
diawali dengan sholat jum’at kemudian diteruskan dengan pertunjukkan
wayang kulit yang dimainkan oleh ki dalang Sunan Kalijaga.
8. Jasa-jasa Sunan Giri
Jasa
yang terbesar tentu saja perjuangannya dalam menyebarkan agama Islam di tanah
jaw bahkan ke nusantara.
Beliau
pernah menjadi hakim dalam perkara pengadilan Syekh Siti Jenar, seorang wali
yang dianggap murtad karena menyebarkan faham Pantheisme dan meremehkan syariat
Islam yang disebarkan para wali lainnya. Dengan demikian sunan Giri ikut
menghambat tersebarnya aliran yang bertentangan dengan faham Ahlussunnah wal
jama’ah.
Keteguhannya
dalam menyiarkan agama Islam secara murni dan konsekuen membawa dampak positif
bagi generasi Islam berikutnya. Islam yang disiarkannya adalah Islam sesuai
ajaran Nabi tanpa dicampuri dengan adat istiadat lama.
Di
dalam kesenian beliau juga berjasa besar, karena beliaulah yang pertama kali
menciptakan Asmaradana dan Pucung, beliau pula yang menciptakan tembang dan
tembang dolanan anak-anak yang bernafas Islam antara lain: jamuran,
Cublak-ublak Suweng, Jithungan dan Delikan.
Sembari
melakukan permainan yang disebut jelungan itu biasanya anak-anak akan
menyanyikan lagu Padhang Bulan :
“Padhang-padhang
bulan, ayo gage dha dolanan,
Dolanane
na ing latar,
Ngalap
padhang gilar-gilar,
Nundhung
begog hangetikar.”
(malam
terang bulan, marilah lekas bermain, bermain dihalaman, mengambil dihalaman,
mengambil manfaat benderangnya rembulan, mengusir gelap yang lari
terbirit-birit)
Maksud
dari lagu dolanan padhang bulan ;
Agama
Islam telah datang, maka marilah kita segera menuntut penghidupan, dimuka bumi
ini, untuk mengambil manfaat dari agama Islam, agar hilang lenyaplah kebodohan
dan kesesatan.
9. Para Pengganti Sunan Giri
Sunan
Giri atau Raden Paku lahir pada tahun 1412 M, memerintah kerajaan Giri kurang
lebih 20 tahun. Sewaktu memerintah Giri Kedaton beliau bergelar Prabu Satmata.
Pengaruh
Sunan giri sangatlah besar terhadap kerajaan Islam di jawa maupun di luar jawa.
Sebagi buktinya adalah adanya kebiasaan bahwa apabila seorang hendak dinobatkan
menjadi raja haruslah mendapat pengesahan dari Sunan Giri.
Giri
Kedaton atau Kerajaan Giri berlangsung selama 200 tahun. Sesudah Sunan Giri
meninggal dunia beliau digantikan anak keturunannya yaitu:
1. Sunan Dalem
2. Sunan Sedomargi
3. Sunan Giri Prapen
4. Sunan Kawis Guwa
5. Panembahan Ageng Giri
6. Panembahan Mas Witana Sideng Rana
7. Pangeran Singonegoro (bukan keturunan Sunan Giri
8. Pengeran Singosari
Pangeran
Singosari ini berjuang gigih mempertahankan diri dari serbuan Sunan Amangkurat
II yang dibantu oleh VOC dan Kapten Jonker.
Sesudah
pangeran Singosari wafat pada tahun 1679, habislah kekuasaan Giri Kedaton.
Meski demikian kharisma Sunan Giri sebagai ulama besar wali terkemuka tetap
abadi sepanjang masa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar