Blog Salim Ibrahim
Seputar Sejarah Dan Internet
Sabtu, 01 Desember 2012
Kisah Singkat Wali Songo
"Walisongo” berarti sembilan orang wali
Mereka adalah Maulana Malik Ibrahim, Sunan Ampel, Sunan Giri, Sunan Bonang, Sunan Dradjad, Sunan Kalijaga, Sunan Kudus, Sunan Muria, serta Sunan Gunung Jati. Mereka tidak hidup pada saat yang persis bersamaan. Namun satu sama lain mempunyai keterkaitan erat, bila tidak dalam ikatan darah juga dalam hubungan guru-murid
Maulana Malik Ibrahim yang tertua. Sunan Ampel anak Maulana Malik Ibrahim. Sunan Giri adalah keponakan Maulana Malik Ibrahim yang berarti juga sepupu Sunan Ampel. Sunan Bonang dan Sunan Drajad adalah anak Sunan Ampel. Sunan Kalijaga merupakan sahabat sekaligus murid Sunan Bonang. Sunan Muria anak Sunan Kalijaga. Sunan Kudus murid Sunan Kalijaga. Sunan Gunung Jati adalah sahabat para Sunan lain, kecuali Maulana Malik Ibrahim yang lebih dahulu meninggal.
Mereka tinggal di pantai utara Jawa dari awal abad 15 hingga pertengahan abad 16, di tiga wilayah penting. Yakni Surabaya-Gresik-Lamongan di Jawa Timur, Demak-Kudus-Muria di Jawa Tengah, serta Cirebon di Jawa Barat. Mereka adalah para intelektual yang menjadi pembaharu masyarakat pada masanya. Mereka mengenalkan berbagai bentuk peradaban baru: mulai dari kesehatan, bercocok tanam, niaga, kebudayaan dan kesenian, kemasyarakatan hingga pemerintahan.
Pesantren Ampel Denta dan Giri adalah dua institusi pendidikan paling penting di masa itu. Dari Giri, peradaban Islam berkembang ke seluruh wilayah timur Nusantara. Sunan Giri dan Sunan Gunung Jati bukan hanya ulama, namun juga pemimpin pemerintahan. Sunan Giri, Bonang, Kalijaga, dan Kudus adalah kreator karya seni yang pengaruhnya masih terasa hingga sekarang. Sedangkan Sunan Muria adalah pendamping sejati kaum jelata.
Era Walisongo adalah era berakhirnya dominasi Hindu-Budha dalam budaya Nusantara untuk digantikan dengan kebudayaan Islam. Mereka adalah simbol penyebaran Islam di Indonesia. Khususnya di Jawa. Tentu banyak tokoh lain yang juga berperan. Namun peranan mereka yang sangat besar dalam mendirikan Kerajaan Islam di Jawa, juga pengaruhnya terhadap kebudayaan masyarakat secara luas serta dakwah secara langsung, membuat “sembilan wali” ini lebih banyak disebut dibanding yang lain.
Masing-masing tokoh tersebut mempunyai peran yang unik dalam penyebaran Islam. Mulai dari Maulana Malik Ibrahim yang menempatkan diri sebagai “tabib” bagi Kerajaan Hindu Majapahit; Sunan Giri yang disebut para kolonialis sebagai “paus dari Timur” hingga Sunan Kalijaga yang mencipta karya kesenian dengan menggunakan nuansa yang dapat dipahami masyarakat Jawa -yakni nuansa Hindu dan Budha.
Maulana Malik Ibrahim (1)
Maulana Malik Ibrahim, atau Makdum Ibrahim As-Samarkandy diperkirakan lahir di Samarkand, Asia Tengah, pada paruh awal abad 14. Babad Tanah Jawi versi Meinsma menyebutnya Asmarakandi, mengikuti pengucapan lidah Jawa terhadap As-Samarkandy, berubah menjadi Asmarakandi
Maulana Malik Ibrahim kadang juga disebut sebagai Syekh Magribi. Sebagian rakyat malah menyebutnya Kakek Bantal. Ia bersaudara dengan Maulana Ishak, ulama terkenal di Samudra Pasai, sekaligus ayah dari Sunan Giri (Raden Paku). Ibrahim dan Ishak adalah anak dari seorang ulama Persia, bernama Maulana Jumadil Kubro, yang menetap di Samarkand. Maulana Jumadil Kubro diyakini sebagai keturunan ke-10 dari Syayidina Husein, cucu Nabi Muhammad saw.
Maulana Malik Ibrahim pernah bermukim di Campa, sekarang Kamboja, selama tiga belas tahun sejak tahun 1379. Ia malah menikahi putri raja, yang memberinya dua putra. Mereka adalah Raden Rahmat (dikenal dengan Sunan Ampel) dan Sayid Ali Murtadha alias Raden Santri. Merasa cukup menjalankan misi dakwah di negeri itu, tahun 1392 M Maulana Malik Ibrahim hijrah ke Pulau Jawa meninggalkan keluarganya.
Beberapa versi menyatakan bahwa kedatangannya disertai beberapa orang. Daerah yang ditujunya pertama kali yakni desa Sembalo, daerah yang masih berada dalam wilayah kekuasaan Majapahit. Desa Sembalo sekarang, adalah daerah Leran kecamatan Manyar, 9 kilometer utara kota Gresik.
Aktivitas pertama yang dilakukannya ketika itu adalah berdagang dengan cara membuka warung. Warung itu menyediakan kebutuhan pokok dengan harga murah. Selain itu secara khusus Malik Ibrahim juga menyediakan diri untuk mengobati masyarakat secara gratis. Sebagai tabib, kabarnya, ia pernah diundang untuk mengobati istri raja yang berasal dari Campa. Besar kemungkinan permaisuri tersebut masih kerabat istrinya.
Kakek Bantal juga mengajarkan cara-cara baru bercocok tanam. Ia merangkul masyarakat bawah -kasta yang disisihkan dalam Hindu. Maka sempurnalah misi pertamanya, yaitu mencari tempat di hati masyarakat sekitar yang ketika itu tengah dilanda krisis ekonomi dan perang saudara. Selesai membangun dan menata pondokan tempat belajar agama di Leran, tahun 1419 M Maulana Malik Ibrahim wafat. Makamnya kini terdapat di kampung Gapura, Gresik, Jawa Timur.n
Sunan Ampel (2)
Ia putera tertua Maulana Malik Ibrahim. Menurut Babad Tanah Jawi dan Silsilah Sunan Kudus, di masa kecilnya ia dikenal dengan nama Raden Rahmat. Ia lahir di Campa pada 1401 Masehi. Nama Ampel sendiri, diidentikkan dengan nama tempat dimana ia lama bermukim. Di daerah Ampel atau Ampel Denta, wilayah yang kini menjadi bagian dari Surabaya (kota Wonokromo sekarang)
Beberapa versi menyatakan bahwa Sunan Ampel masuk ke pulau Jawa pada tahun 1443 M bersama Sayid Ali Murtadho, sang adik. Tahun 1440, sebelum ke Jawa, mereka singgah dulu di Palembang. Setelah tiga tahun di Palembang, kemudian ia melabuh ke daerah Gresik. Dilanjutkan pergi ke Majapahit menemui bibinya, seorang putri dari Campa, bernama Dwarawati, yang dipersunting salah seorang raja Majapahit beragama Hindu bergelar Prabu Sri Kertawijaya.
Sunan Ampel menikah dengan putri seorang adipati di Tuban. Dari perkawinannya itu ia dikaruniai beberapa putera dan puteri. Diantaranya yang menjadi penerusnya adalah Sunan Bonang dan Sunan Drajat. Ketika Kesultanan Demak (25 kilometer arah selatan kota Kudus) hendak didirikan, Sunan Ampel turut membidani lahirnya kerajaan Islam pertama di Jawa itu. Ia pula yang menunjuk muridnya Raden Patah, putra dari Prabu Brawijaya V raja Majapahit, untuk menjadi Sultan Demak tahun 1475 M.
Di Ampel Denta yang berawa-rawa, daerah yang dihadiahkan Raja Majapahit, ia membangun mengembangkan pondok pesantren. Mula-mula ia merangkul masyarakat sekitarnya. Pada pertengahan Abad 15, pesantren tersebut menjadi sentra pendidikan yang sangat berpengaruh di wilayah Nusantara bahkan mancanegara. Di antara para santrinya adalah Sunan Giri dan Raden Patah. Para santri tersebut kemudian disebarnya untuk berdakwah ke berbagai pelosok Jawa dan Madura.
Sunan Ampel menganut fikih mahzab Hanafi. Namun, pada para santrinya, ia hanya memberikan pengajaran sederhana yang menekankan pada penanaman akidah dan ibadah. Dia-lah yang mengenalkan istilah “Mo Limo” (moh main, moh ngombe, moh maling, moh madat, moh madon). Yakni seruan untuk “tidak berjudi, tidak minum minuman keras, tidak mencuri, tidak menggunakan narkotik, dan tidak berzina.”
Sunan Ampel diperkirakan wafat pada tahun 1481 M di Demak dan dimakamkan di sebelah barat Masjid Ampel, Surabaya.n
Sunan Giri (3)
Ia memiliki nama kecil Raden Paku, alias Muhammad Ainul Yakin. Sunan Giri lahir di Blambangan (kini Banyuwangi) pada 1442 M. Ada juga yang menyebutnya Jaka Samudra. Sebuah nama yang dikaitkan dengan masa kecilnya yang pernah dibuang oleh keluarga ibunya–seorang putri raja Blambangan bernama Dewi Sekardadu ke laut. Raden Paku kemudian dipungut anak oleh Nyai Semboja (Babad Tanah Jawi versi Meinsma).
Ayahnya adalah Maulana Ishak. saudara sekandung Maulana Malik Ibrahim. Maulana Ishak berhasil meng-Islamkan isterinya, tapi gagal mengislamkan sang mertua. Oleh karena itulah ia meninggalkan keluarga isterinya berkelana hingga ke Samudra Pasai.
Sunan Giri kecil menuntut ilmu di pesantren misannya, Sunan Ampel, tempat dimana Raden Patah juga belajar. Ia sempat berkelana ke Malaka dan Pasai. Setelah merasa cukup ilmu, ia membuka pesantren di daerah perbukitan Desa Sidomukti, Selatan Gresik. Dalam bahasa Jawa, bukit adalah “giri”. Maka ia dijuluki Sunan Giri.
Pesantrennya tak hanya dipergunakan sebagai tempat pendidikan dalam arti sempit, namun juga sebagai pusat pengembangan masyarakat. Raja Majapahit -konon karena khawatir Sunan Giri mencetuskan pemberontakan- memberi keleluasaan padanya untuk mengatur pemerintahan. Maka pesantren itupun berkembang menjadi salah satu pusat kekuasaan yang disebut Giri Kedaton. Sebagai pemimpin pemerintahan, Sunan Giri juga disebut sebagai Prabu Satmata.
Giri Kedaton tumbuh menjadi pusat politik yang penting di Jawa, waktu itu. Ketika Raden Patah melepaskan diri dari Majapahit, Sunan Giri malah bertindak sebagai penasihat dan panglima militer Kesultanan Demak. Hal tersebut tercatat dalam Babad Demak. Selanjutnya, Demak tak lepas dari pengaruh Sunan Giri. Ia diakui juga sebagai mufti, pemimpin tertinggi keagamaan, se-Tanah Jawa.
Giri Kedaton bertahan hingga 200 tahun. Salah seorang penerusnya, Pangeran Singosari, dikenal sebagai tokoh paling gigih menentang kolusi VOC dan Amangkurat II pada Abad 18.
Para santri pesantren Giri juga dikenal sebagai penyebar Islam yang gigih ke berbagai pulau, seperti Bawean, Kangean, Madura, Haruku, Ternate, hingga Nusa Tenggara. Penyebar Islam ke Sulawesi Selatan, Datuk Ribandang dan dua sahabatnya, adalah murid Sunan Giri yang berasal dari Minangkabau.
Dalam keagamaan, ia dikenal karena pengetahuannya yang luas dalam ilmu fikih. Orang-orang pun menyebutnya sebagai Sultan Abdul Fakih. Ia juga pecipta karya seni yang luar biasa. Permainan anak seperti Jelungan, Jamuran, lir-ilir dan cublak suweng disebut sebagai kreasi Sunan Giri. Demikian pula Gending Asmaradana dan Pucung -lagi bernuansa Jawa namun syarat dengan ajaran Islam.n
Sunan Bonang (4)
Ia anak Sunan Ampel, yang berarti juga cucu Maulana Malik Ibrahim. Nama kecilnya adalah Raden Makdum Ibrahim. Lahir diperkirakan 1465 M dari seorang perempuan bernama Nyi Ageng Manila, puteri seorang adipati di Tuban
Sunan Kudus banyak berguru pada Sunan Kalijaga. Kemudian ia berkelana ke berbagai daerah tandus di Jawa Tengah seperti Sragen, Simo hingga Gunung Kidul. Cara berdakwahnya pun meniru pendekatan Sunan Kalijaga: sangat toleran pada budaya setempat. Cara penyampaiannya bahkan lebih halus. Itu sebabnya para wali –yang kesulitan mencari pendakwah ke Kudus yang mayoritas masyarakatnya pemeluk teguh-menunjuknya.
Cara Sunan Kudus mendekati masyarakat Kudus adalah dengan memanfaatkan simbol-simbol Hindu dan Budha. Hal itu terlihat dari arsitektur masjid Kudus. Bentuk menara, gerbang dan pancuran/padasan wudhu yang melambangkan delapan jalan Budha. Sebuah wujud kompromi yang dilakukan Sunan Kudus.
Suatu waktu, ia memancing masyarakat untuk pergi ke masjid mendengarkan tabligh-nya. Untuk itu, ia sengaja menambatkan sapinya yang diberi nama Kebo Gumarang di halaman masjid. Orang-orang Hindu yang mengagungkan sapi, menjadi simpati. Apalagi setelah mereka mendengar penjelasan Sunan Kudus tentang surat Al Baqarah
yang berarti “sapi betina”. Sampai sekarang, sebagian masyarakat tradisional Kudus, masih menolak untuk menyembelih sapi.
Sunan Kudus juga menggubah cerita-cerita ketauhidan. Kisah tersebut disusunnya secara berseri, sehingga masyarakat tertarik untuk mengikuti kelanjutannya. Sebuah pendekatan yang tampaknya mengadopsi cerita 1001 malam dari masa kekhalifahan Abbasiyah. Dengan begitulah Sunan Kudus mengikat masyarakatnya.
Bukan hanya berdakwah seperti itu yang dilakukan Sunan Kudus. Sebagaimana ayahnya, ia juga pernah menjadi Panglima Perang Kesultanan Demak. Ia ikut bertempur saat Demak, di bawah kepemimpinan Sultan Prawata, bertempur melawan Adipati Jipang, Arya Penangsang.n
Sunan Kalijaga (5)
Dialah “wali” yang namanya paling banyak disebut masyarakat Jawa. Ia lahir sekitar tahun 1450 Masehi. Ayahnya adalah Arya Wilatikta, Adipati Tuban -keturunan dari tokoh pemberontak Majapahit, Ronggolawe. Masa itu, Arya Wilatikta diperkirakan telah menganut Islam
Nama kecil Sunan Kalijaga adalah Raden Said. Ia juga memiliki sejumlah nama panggilan seperti Lokajaya, Syekh Malaya, Pangeran Tuban atau Raden Abdurrahman.Terdapat beragam versi menyangkut asal-usul nama Kalijaga yang disandangnya.
Masyarakat Cirebon berpendapat bahwa nama itu berasal dari dusun Kalijaga di Cirebon. Sunan Kalijaga memang pernah tinggal di Cirebon dan bersahabat erat dengan Sunan Gunung Jati. Kalangan Jawa mengaitkannya dengan kesukaan wali ini untuk berendam (‘kungkum’) di sungai (kali) atau “jaga kali”. Namun ada yang menyebut istilah itu berasal dari bahasa Arab “qadli dzaqa” yang menunjuk statusnya sebagai “penghulu suci” kesultanan.
Masa hidup Sunan Kalijaga diperkirakan mencapai lebih dari 100 tahun. Dengan demikian ia mengalami masa akhir kekuasaan Majapahit (berakhir 1478), Kesultanan Demak, Kesultanan Cirebon dan Banten, bahkan juga Kerajaan Pajang yang lahir pada 1546 serta awal kehadiran Kerajaan Mataram dibawah pimpinan Panembahan Senopati. Ia ikut pula merancang pembangunan Masjid Agung Cirebon dan Masjid Agung Demak. Tiang “tatal” (pecahan kayu) yang merupakan salah satu dari tiang utama masjid adalah kreasi Sunan Kalijaga.
Dalam dakwah, ia punya pola yang sama dengan mentor sekaligus sahabat dekatnya, Sunan Bonang. Paham keagamaannya cenderung “sufistik berbasis salaf” -bukan sufi panteistik (pemujaan semata). Ia juga memilih kesenian dan kebudayaan sebagai sarana untuk berdakwah.
Ia sangat toleran pada budaya lokal. Ia berpendapat bahwa masyarakat akan menjauh jika diserang pendiriannya. Maka mereka harus didekati secara bertahap: mengikuti sambil mempengaruhi. Sunan Kalijaga berkeyakinan jika Islam sudah dipahami, dengan sendirinya kebiasaan lama hilang.
Maka ajaran Sunan Kalijaga terkesan sinkretis dalam mengenalkan Islam. Ia menggunakan seni ukir, wayang, gamelan, serta seni suara suluk sebagai sarana dakwah. Dialah pencipta Baju takwa, perayaan sekatenan, grebeg maulud, Layang Kalimasada, lakon wayang Petruk Jadi Raja. Lanskap pusat kota berupa Kraton, alun-alun dengan dua beringin serta masjid diyakini sebagai karya Sunan Kalijaga.
Metode dakwah tersebut sangat efektif. Sebagian besar adipati di Jawa memeluk Islam melalui Sunan Kalijaga. Di antaranya adalah Adipati Padanaran, Kartasura, Kebumen, Banyumas, serta Pajang (sekarang Kotagede – Yogya). Sunan Kalijaga dimakamkan di Kadilangu -selatan Demak.n
Sunan Gunung Jati (6)
Banyak kisah tak masuk akal yang dikaitkan dengan Sunan Gunung Jati. Diantaranya adalah bahwa ia pernah mengalami perjalanan spiritual seperti Isra’ Mi’raj, lalu bertemu Rasulullah SAW, bertemu Nabi Khidir, dan menerima wasiat Nabi Sulaeman. (Babad Cirebon Naskah Klayan hal.xxii).
Semua itu hanya mengisyaratkan kekaguman masyarakat masa itu pada Sunan Gunung Jati. Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah diperkirakan lahir sekitar tahun 1448 M. Ibunya adalah Nyai Rara Santang, putri dari raja Pajajaran Raden Manah Rarasa. Sedangkan ayahnya adalah Sultan Syarif Abdullah Maulana Huda, pembesar Mesir keturunan Bani Hasyim dari Palestina.
Syarif Hidayatullah mendalami ilmu agama sejak berusia 14 tahun dari para ulama Mesir. Ia sempat berkelana ke berbagai negara. Menyusul berdirinya Kesultanan Bintoro Demak, dan atas restu kalangan ulama lain, ia mendirikan Kasultanan Cirebon yang juga dikenal sebagai Kasultanan Pakungwati.
Dengan demikian, Sunan Gunung Jati adalah satu-satunya “wali songo” yang memimpin pemerintahan. Sunan Gunung Jati memanfaatkan pengaruhnya sebagai putra Raja Pajajaran untuk menyebarkan Islam dari pesisir Cirebon ke pedalaman Pasundan atau Priangan.
Dalam berdakwah, ia menganut kecenderungan Timur Tengah yang lugas. Namun ia juga mendekati rakyat dengan membangun infrastruktur berupa jalan-jalan yang menghubungkan antar wilayah.
Bersama putranya, Maulana Hasanuddin, Sunan Gunung Jati juga melakukan ekspedisi ke Banten. Penguasa setempat, Pucuk Umum, menyerahkan sukarela penguasaan wilayah Banten tersebut yang kemudian menjadi cikal bakal Kesultanan Banten.
Pada usia 89 tahun, Sunan Gunung Jati mundur dari jabatannya untuk hanya menekuni dakwah. Kekuasaan itu diserahkannya kepada Pangeran Pasarean. Pada tahun 1568 M, Sunan Gunung Jati wafat dalam usia 120 tahun, di Cirebon (dulu Carbon). Ia dimakamkan di daerah Gunung Sembung, Gunung Jati, sekitar 15 kilometer sebelum kota Cirebon dari arah barat.n
Sunan Drajat (7)
Nama kecilnya Raden Qosim. Ia anak Sunan Ampel. Dengan demikian ia bersaudara dengan Sunan Bonang. Diperkirakan Sunan Drajat yang bergelar Raden Syaifuddin ini lahir pada tahun 1470 M
Sunan Drajat mendapat tugas pertama kali dari ayahnya untuk berdakwah ke pesisir Gresik, melalui laut. Ia kemudian terdampar di Dusun
Jelog –pesisir Banjarwati atau Lamongan sekarang. Tapi setahun berikutnya Sunan Drajat berpindah 1 kilometer ke selatan dan mendirikan padepokan santri Dalem Duwur, yang kini bernama Desa Drajat, Paciran-Lamongan.
Dalam pengajaran tauhid dan akidah, Sunan Drajat mengambil cara ayahnya: langsung dan tidak banyak mendekati budaya lokal. Meskipun demikian, cara penyampaiannya mengadaptasi cara berkesenian yang dilakukan Sunan Muria. Terutama seni suluk.
Maka ia menggubah sejumlah suluk, di antaranya adalah suluk petuah “berilah tongkat pada si buta/beri makan pada yang lapar/beri pakaian pada yang telanjang’.
Sunan Drajat juga dikenal sebagai seorang bersahaja yang suka menolong. Di pondok pesantrennya, ia banyak memelihara anak-anak yatim-piatu dan fakir miskin.n
Sunan Kudus (8)
Nama kecilnya Jaffar Shadiq. Ia putra pasangan Sunan Ngudung dan Syarifah (adik Sunan Bonang), anak Nyi Ageng Maloka. Disebutkan bahwa Sunan Ngudung adalah salah seorang putra Sultan di Mesir yang berkelana hingga di Jawa. Di Kesultanan Demak, ia pun diangkat menjadi Panglima Perang
Sunan Kudus banyak berguru pada Sunan Kalijaga. Kemudian ia berkelana ke berbagai daerah tandus di Jawa Tengah seperti Sragen, Simo hingga Gunung Kidul. Cara berdakwahnya pun meniru pendekatan Sunan Kalijaga: sangat toleran pada budaya setempat. Cara penyampaiannya bahkan lebih halus. Itu sebabnya para wali –yang kesulitan mencari pendakwah ke Kudus yang mayoritas masyarakatnya pemeluk teguh-menunjuknya.
Cara Sunan Kudus mendekati masyarakat Kudus adalah dengan memanfaatkan simbol-simbol Hindu dan Budha. Hal itu terlihat dari arsitektur masjid Kudus. Bentuk menara, gerbang dan pancuran/padasan wudhu yang melambangkan delapan jalan Budha. Sebuah wujud kompromi yang dilakukan Sunan Kudus.
Suatu waktu, ia memancing masyarakat untuk pergi ke masjid mendengarkan tabligh-nya. Untuk itu, ia sengaja menambatkan sapinya yang diberi nama Kebo Gumarang di halaman masjid. Orang-orang Hindu yang mengagungkan sapi, menjadi simpati. Apalagi setelah mereka mendengar penjelasan Sunan Kudus tentang surat Al Baqarah yang berarti “sapi betina”. Sampai sekarang, sebagian masyarakat tradisional Kudus, masih menolak untuk menyembelih sapi.
Sunan Kudus juga menggubah cerita-cerita ketauhidan. Kisah tersebut disusunnya secara berseri, sehingga masyarakat tertarik untuk mengikuti kelanjutannya. Sebuah pendekatan yang tampaknya mengadopsi cerita 1001 malam dari masa kekhalifahan Abbasiyah. Dengan begitulah Sunan Kudus mengikat masyarakatnya.
Bukan hanya berdakwah seperti itu yang dilakukan Sunan Kudus. Sebagaimana ayahnya, ia juga pernah menjadi Panglima Perang Kesultanan Demak. Ia ikut bertempur saat Demak, di bawah kepemimpinan Sultan Prawata, bertempur melawan Adipati Jipang, Arya Penangsang.n
Sunan Muria (9)
Ia putra Dewi Saroh –adik kandung Sunan Giri sekaligus anak Syekh Maulana Ishak, dengan Sunan Kalijaga. Nama kecilnya adalah Raden Prawoto. Nama Muria diambil dari tempat tinggal terakhirnya di lereng Gunung Muria, 18 kilometer ke utara kota Kudus
Gaya berdakwahnya banyak mengambil cara ayahnya, Sunan Kalijaga. Namun berbeda dengan sang ayah, Sunan Muria lebih suka tinggal di daerah sangat terpencil dan jauh dari pusat kota untuk menyebarkan agama Islam.
Bergaul dengan rakyat jelata, sambil mengajarkan keterampilan-keterampilan bercocok tanam, berdagang dan melaut adalah kesukaannya.
Sunan Muria seringkali dijadikan pula sebagai penengah dalam konflik internal di Kesultanan Demak (1518-1530), Ia dikenal sebagai pribadi yang mampu memecahkan berbagai masalah betapapun rumitnya masalah itu. Solusi pemecahannya pun selalu dapat diterima oleh semua pihak yang berseteru. Sunan Muria berdakwah dari Jepara, Tayu, Juana hingga sekitar Kudus dan Pati. Salah satu hasil dakwahnya lewat seni adalah lagu Sinom dan Kinanti.
KISAH WALI SONGO DI LIHAT DARI BEBERAPA PERIODE
Para
Walisongo tidak hidup pada saat yang persis bersamaan, namun satu sama lain
mempunyai keterkaitan erat, baik dalam ikatan darah atau karena pernikahan,
maupun dalam hubungan guru-murid. Bila ada seorang anggota majelis WaliSongo
ada yang wafat, maka posisinya digantikan oleh tokoh lainnya. Pada tahun 808
Hijrah atau 1600-an Masehi para ulama itu berangkat ke Pulau Jawa. Mereka
adalah:
1.
Maulana Malik Ibrahim atau Sunan Gresik, berasal dari Turki ahli mengatur
negara. Berdakwah di Jawa bagian timur. Wafat di Gresik pada tahun 1419 M.
Makamnya terletak satu kilometer dari sebelah utara pabrik Semen Gresik.
2.
Maulana Ishaq berasal dari Samarkand
dekat Bukhara-uzbekistan/Rusia. Beliau ahli pengobatan. Setelah tugasnya di
Jawa selesai Maulana Ishak pindah ke Samudra Pasai dan wafat di sana.
3.
Syekh Jumadil Qubro, berasal dari Mesir. Beliau berdakwah keliling. Makamnya di
Troloyo Trowulan, Mojokerto Jawa Timur.
4.
Maulana Muhammad Al Maghrobi, berasal dari Maroko, beliau berdakwah keliling.
Wafat tahun 1465 M. Makamnya di Jatinom Klaten, Jawa Tengah.
5.
Maulana Malik Isroil berasal dari Turki, ahli mengatur negara. Wafat tahun 1435
M. Makamnya di Gunung Santri.
6.
Maulana Muhammad Ali Akbar, berasal dari Persia Iran. Ahli pengobatan. Wafat
1435 M. Makamnya di Gunung Santri.
7.
Maulana Hasanuddin berasal dari Palestina Berdakwah keliling. Wafat pada tahun
1462 M. Makamnya disamping masjid Banten Lama.
8.
Maulana Alayuddin berasal dari Palestina. Berdakwah keliling. Wafat pada tahun
1462 M. Makamnya disamping masjid Banten Lama.
9.
Syekh Subakir, atau juga disebut Syaikh Muhammad Al-Baqir, berasal dari Persia,
ahli menumbali (metode rukyah) tanah angker yang dihuni jin-jin jahat tukang
menyesatkan manusia. Setelah para Jin tadi menyingkir dan lalu tanah yang telah
netral dijadikan pesantren. Setelah banyak tempat yang ditumbali (dengan Rajah
Asma Suci) maka Syekh Subakir kembali ke Persia
pada tahun 1462 M dan wafat di sana.
Salah seorang pengikut atau sahabat Syekh Subakir tersebut ada di sebelah utara
Pemandian Blitar, Jawa Timur. Disana ada peninggalan Syekh Subakir berupa
sajadah yang terbuat dari batu kuno. WaliSongo
Walisongo Periode Kedua
Pada
periode kedua ini masuklah tiga orang wali menggantikan tiga anggota WaliSongo
yang wafat. Ketiganya adalah:
1.
Raden Ahmad Ali Rahmatullah, datang ke Jawa pada tahun 1421 M menggantikan
Malik Ibrahim yang wafat pada tahun 1419 M. Raden Rahmat atau Sunan Ampel
berasal dari Champa, Muangthai Selatan (Thailand Selatan). WaliSongo
2.
Sayyid Ja’far Shodiq berasal dari Palestina, datang di Jawa tahun 1436
menggantikan Malik Isro’il yang wafat pada tahun 1435 M. Beliau tinggal di
Kudus sehingga dikenal dengan Sunan Kudus.
3.
Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati, berasal dari Palestina. Datang di
Jawa pada tahun 1436 M. Menggantikan Maulana Ali Akbar yang wafat tahun 1435 M.
Sidang walisongo yang kedua ini diadakan di Ampel Surabaya.
Para
WaliSongo kemudian membagi tugas. Sunan Ampel, Maulana Ishaq dan Maulana
Jumadil Kubro bertugas di Jawa Timur. Sunan Kudus, Syekh Subakir dan Maulana
Al-Maghrobi bertugas di Jawa Tengah. Syarif Hidayatullah, Maulana Hasanuddin
dan Maulana Aliyuddin di Jawa Barat. Dengan adanya pembagian tugas ini maka
masing-masing wali telah mempunyai wilayah dakwah sendiri-sendiri, mereka
bertugas sesuai keahlian masing-masing.
Walisongo Periode Ketiga
Pada
tahun 1463 M. Masuklah menjadi anggota Walisongo yaitu:
1.
Sunan Giri kelahiran Blambangan Jawa Timur. Putra dari Syekh Maulana Ishak
dengan putri Kerajaan Blambangan bernama Dewi Sekardadu atau Dewi Kasiyan.
Raden Paku ini menggantikan kedudukan ayahnya yang telah pindah ke negeri
Pasai. Karena Raden Paku tinggal di Giri maka beliau lebih terkenal dengan sebutan
Sunan Giri. Makamnya terletak di Gresik Jawa Timur.
2.
Raden Said, atau Sunan Kalijaga, kelahiran Tuban Jawa Timur. Beliau adalah
putra Adipati Wilatikta yang berkedudukan di Tuban. Sunan Kalijaga menggantikan
Syekh Subakir yang kembali ke Persia.
3.
Raden Makdum Ibrahim, atau Sunan Bonang, lahir di Ampel Surabaya. Beliau adalah putra Sunan Ampel,
Sunan Bonang menggantikan kedudukan Maulana Hasanuddin yang wafat pada tahun
1462. Sidang Walisongo yang ketiga ini juga berlangsung di Ampel Surabaya. WaliSongo
Walisongo Periode Keempat
Pada
tahun 1466 diangkat dua wali menggantikan dua yang telah wafat yaitu Maulana
Ahmad Jumadil Kubro dan Maulana Muhammad Maghrobi. Dua wali yang
menggantikannya ialah:
Raden
Patah adalah murid Sunan Ampel, beliau adalah putra Raja Brawijaya Majapahit.
Beliau diangkat sebagai Adipati Bintoro pada tahun 1462 M. Kemudian membangun
Masjid Demak pada tahun 1465 dan dinobatkan sebagai Raja atau Sultan Demak pada
tahun 1468.Setelah itu Fathullah Khan, putra Sunan Gunung Jati, beliau dipilih
sebagai anggota Walisongo menggantikan ayahnya yang telah berusia lanjut.
Walisongo Periode Kelima
Dapat
disimpulkan bahwa dalam periode ini masuk Sunan Muria atau Raden Umar
Said-putra Sunan Kalijaga menggantikan wali yang wafat.
Konon
Syekh Siti Jenar atau Syekh Lemah Abang itu adalah salah satu anggota Walisongo
, namun karena Siti Jenar di kemudian hari mengajarkan ajaran yang menimbulkan
keresahan umat dan mengabaikan syariat agama maka Siti Jenar dihukum mati.
Selanjutnya kedudukan Siti Jenar digantikan oleh Sunan Bayat – bekas Adipati Semarang (Ki Pandanarang)
yang telah menjadi murid Sunan Kalijaga.
Walisongo Periode Ke Enam
Antara
1533 – 1546 M, terdiri dari Syekh Abdul Qahhar (Sunan Sedayu) yang pada tahun
1517 menggantikan ayahnya Syekh Siti Jenar, Raden Zainal Abidin Sunan Demak
yang tahun 1540 menggantikan kakaknya Raden Faqih Sunan Ampel II, Sultan
Trenggana yang tahun 1518 menggantikan ayahnya yaitu Raden Fattah, Fathullah
Khan (wafat 1573), Sayyid Amir Hasan yang tahun 1550 menggantikan ayahnya Sunan
Kudus, Sunan Gunung Jati (wafat 1569), Raden Husamuddin Sunan Lamongan yang
tahun 1525 menggantikan kakaknya Sunan Bonang, Sunan Pakuan yang tahun 1533
menggantikan ayahnya Sunan Derajat, dan Sunan Muria (wafat 1551). WaliSongo
Walisongo Periode Ke Tujuh
Antara
1546- 1591 M , terdiri dari Syaikh Abdul Qahhar (wafat 1599), Sunan Prapen yang
tahun 1570 menggantikan Raden Zainal Abidin Sunan Demak, Sunan Prawoto yang
tahun 1546 menggantikan ayahnya Sultan Trenggana, Maulana Yusuf cucu Sunan
Gunung Jati yang pada tahun 1573 menggantikan pamannya Fathullah Khan, Sayyid
Amir Hasan, Maulana Hasanuddin yang pada tahun 1569 menggantikan ayahnya Sunan
Gunung Jati, Sunan Mojoagung yang tahun 1570 menggantikan Sunan Lamongan, Sunan
Cendana yang tahun 1570 menggantikan kakeknya Sunan Pakuan, dan Sayyid Shaleh
(Panembahan Pekaos) anak Sayyid Amir Hasan yang tahun 1551 menggantikan kakek
dari pihak ibunya yaitu Sunan Muria.
Walisongo Periode Ke Delapan
Antara
1592- 1650 M, terdiri dari Syaikh Abdul Qadir (Sunan Magelang) yang
menggantikan Sunan Sedayu (wafat 1599), Baba Daud Ar-Rumi Al-Jawi yang tahun
1650 menggantikan gurunya Sunan Prapen, Sultan Hadiwijaya (Joko Tingkir) yang
tahun 1549 menggantikan Sultan Prawoto, Maulana Yusuf, Sayyid Amir Hasan,
Maulana Hasanuddin, Syekh Syamsuddin Abdullah Al-Sumatrani yang tahun 1650
menggantikan Sunan Mojoagung, Syekh Abdul Ghafur bin Abbas Al-Manduri yang
tahun 1650 menggantikan Sunan Cendana, dan Sayyid Shaleh (Panembahan Pekaos).
Walisongo
atau Walisanga dikenal sebagai penyebar agama Islam di tanah Jawa pada abad ke
14. WaliSongo tinggal di tiga wilayah penting pantai utara Pulau Jawa, yaitu
Surabaya, Gresik, Lamongan di Jawa Timur, Demak, Kudus, Muria di Jawa Tengah,
dan Cirebon di Jawa Barat. Kisah WaliSongo ini di olah dari berbagai sumber
Jumat, 23 November 2012
SUNAN MURIA
1.
Asal Usul Sunan
Muria
Beliau
adalah putera Sunan Kalijaga dengan Dewi Saroh. Nama aslinya Raden Umar Said.
Seperti ayahnya, dalam berdakwah beliau menggunakan cara halus, ibarat
mengambil ikan tidak sampai mengeruhkan airnya. Itulah cara yang ditempuh untuk
menyiarkan agama Islam di sekitar Gunung Muria.
Tempat
tinggal beliau di gunung Muria yang salah satu puncaknya bernama Colo. Letaknya
disebelah utara kota
Kudus. Sasaran dakwah beliau adalah para pedagang, nelayan, pelaut dan rakyat
jelata. Beliau lah satu-satu wali yang tetap mempertahankan kesenian gamelan
dan wayang sebagai alat dakwah untuk menyampaikan Islam. Dan beliau pula yang menciptakan tembang Sinom dan Kinanti.
2.
Sakti Mandraguna
Bahwa
Sunan Muria itu adalah wali yang sakti, kuat fisiknya dapat dibuktikan dengan
letak padepokannya yang terletak di atas gunung. Menuju ke makam Sunan Muria
pun perlu tenaga ekstra karena berada diatas bukit yang tinggi.
Bayangkanlah, jika sunan Muria dan isterinya atau dengan muridnya setiap hari harus naik turun guna menyebarkan agama Islam kepada penduduk setempat, atau berdakwah kepada para nelayan dan pelaut serta para pedagang. Hal itu tidak dapat dilakukannya tanpa adanya fisik yang kuat. Soalnya menunggang kuda tidak mungkin dapat dilakukan untuk mencapai tempat tinggal Sunan Muria. Harus dengan jalan kaki. Itu berarti Sunan Muria memiliki kesaktian yang tinggi, demikian pula dengan murid-muridnya.
Bukti
bahwa Sunan Muria adalah guru yang sakti mandraguna dapat ditemukan dalam
kisah perkawinan dengan Dewi Roroyono. Dewi Roroyono adalah puteri Sunan
Ngerang, yaitu seorang ulama yang disegani masyarakat karena ketinggian
ilmunya, tempat tinggalnya di Juana.
Demikian
saktinya Sunan Ngerang ini sehingga Sunan Muria dan Sunan Kudus sampai-sampai
berguru kepada beliau.
Pada
suatu hari Sunan Ngerang mengadakan syukuran atas usia Dewi Roroyono yang genap
20 tahun. Murid-muridnya diundang semua. Seperti : Sunan Muria, Sunan Kudus,
Adipati Pathak Warak, Kapa dan Adiknya Gentiri. Tetangga dekat jua diundang,
demikian pula snak kadang yang dari jauh.
Setelah
tamu berkumpul Dewi Roroyono dan adiknya Dewi Roro Pujiwati keluar
menghidangkan makanan dan minuman. Keduanya adalah dara-dara yang cantik
jelita. Terutama Dewi Roroyono yang telah berusia 20 tahun, bagaikan bunga yang
sedang mekar-mekarnya.
Bagi
Sunan Kudus dan Sunan Muria yang sudah berbekal ilmu agama dapat menahan
pandangan matanya sehingga tidak terseret oleh godaan setan. Tapi seorang murid
Sunan Ngerang yang lain yaitu Adipati Pathak Warak memandang Dewi Roroyono
dengan mata tidak berkedip melihat kecantikan gadis itu.
Sewaktu
menjadi cantrik atau murid Sunan Ngerang, yaitu ketika Pthak Warak belum
menjadi seorang Adipati, Roroyono masih kecil, belum nampak benar kecantikannya
yang mempesona, sekarang gadis itu benar-benar membuat Adipati Pathak Warak
tergila-gila. Sepasang matanya hampir melotot memandangi gadis itu terus
menerus.
Karena
dibakar api asmara
yang menggelora, Pathak Warak tidak tahan lagi. Dia menggoda Roroyono dengan
ucapan-ucapan yang tidak pantas. Lebih-lebih setelah lelaki itu bertindak
kurang ajar.
Tentu
saja Roroyono merasa malu sekali, lebih-lebih ketiak lelaki itu berlaku kurang
ajar dengan memegangi bagian-bagian tubuhnya yang tak pantas disentuh. Si gadis
naik pitam, nampan berisi minuman yang dibawanya sengaja ditumpahkan ke pakaian
sang adipati.
Pathak
Warak menyumpah-nyumpah, hatinya marah sekali diperlakukan seperti itu. Apalagi
dilihatnya para tamu undangan menertawakan kekonyolan itu, diapun semakin malu.
Hampir saja Roroyono ditamparnya kalau tidak ingat bahwa gadis itu adalah
puteri gurunya.
Roroyono
masuk kedalam kamarnya, gadis itu menangis sejadi-jadinya karena dipermalukan
oleh Pathak Warak.
Malam
hari tamu-tamu dari dekat sudah pulang ketempatnya masing-masing. Tamu dari
jauh terpaksa menginap di rumah Sunan Ngerang, termasuk Pathak Warak dan Sunan
Muria. Namun hingga lewat tengah malam Pathak Warak belum dapat memejamkan
matanya.
Pathak
Warak kemudian bangkit dari tidurnya. Mengendap-ngendap ke kamar Roroyono.
Gadis itu diserepnya sehingga tidak sadarkan diri, kemudian melalui genteng
Pathak Warak masuk dan membawa lari gadis itu melalui jendela. Dewi
Roroyono dibaw alari ke Mandalika, wilayah Keling atau Kediri.
Setelah
Sunan Ngerang mengetahui bahwa puterinya diculik oleh Pathak Warak, maka beliau
berikrar siapa saja yang berhasil membawa puterinya kembali ke ngerang akan
dijodohkan dengan puterinya itu dan bila perempuan akan dijadikan saudara Dewi
Roroyono. Tak ada yang menyatakan kesanggupannya. Karena semua orang telah
maklum akan kehebatan dan kekejaman Pathak Warak. Hanya Sunan Muria yang
bersedia memnuhi harapan Sunan Ngerang.
Saya
akan berusaha mengambil Diajeng Dewi Roroyono dari tangan Pathak Warak, kata
Sunan Muria.
Tetapi
ditengah perjalan Sunan Muria bertemu dengan Kapa dan Gentiri, adik seperguruan
yang lebih dulu pulang sebelum acara syukuran berakhir. Kedua orang itu merasa
heran melihat Sunan Muria berlari cepat menuju arah daerah Keling.
Mengapa
kakang tampak tergesa-gesa? Tanya Kapa. Sunan Muria lalu menceritakan
penculikan Dewi Roroyono yang dilakukan oleh Pathak Warak.
Kapa
dan Gentiri sangat menghormati Sunan Muria sebagai saudara seperguruan yang
lebih tua. Keduanya lantas menyatakan diri untuk membantu Sunan Muria merebut
kembali Dewi Roroyono.
Kakang
sebaiknya pulang ke Padepokan Gunung Muria. Murid-murid kakang sangat
membutuhkan bimbingan. Biarlah kami berusaha merebut diajeng Dewi Roroyono
kembali. Kalau berhasil kakang tetap berhak mengawininya, kami hanya sekedar
membantu, kata kapa.
Aku
masih sanggup untuk merebutnya sendiri, ujar Sunan Muria.
Itu
benar, tapi membimbing orang memperdalam agama Islam lebih penting, percayalah
pada kami. Kami pasti sanggup merebutnya kembali, kata kapa ngotot.
Sunan
Muria akhirnya meluluskan permintaan adik seperguruannya itu. Rasanya tidak
enak menolak seseorang yang hendak berbuat baik. Lagi pula ia harus menengok
para santrinya di padepokan Gunung Muria.
Untuk
merebut Dewi Roroyono dari tangan Pathak Warak, Kapa dan Gentiri ternyata minta
bantuan seorang Wiku Lodhang Datuk di pulau Sprapat yang dikenal sebagai tokoh
sakti yang jarang tandingannya. Usaha itu berhasil. Dewi Roroyono dikembalikan
ke Ngerang.
Hari
berikutnya Sunan Muria hendak ke Ngerang. Ingin mengetahui perkembangan usaha
Kapa dan Gentiri. Ditengah jalan beliau bertemu dengan Adipati Pathak Warak.
Hai
Pathak Warak berhenti kau, bentak Sunan Muria.
Pathak
Warak yang sedang naik kuda terpaksa berhenti karena Sunan Muria menghadang
didepannya.
Minggir!!
Jangan menghalangi Jalanku, hardik Pathak Warak.
Boleh,
asal kau kembalikan Dewi Roroyono !
Goblok!!
Dewi Roroyono sudah dibawa Kapa dan Gentiri!! Kini aku hendak mengejar mereka!!
Umpat Pathak Warak.
Untuk
apa kau mengejar mereka?
Merebutnya
kembali! Jawab Pathak Warak dengan sengit.
Kalau
begitu langkahi dulu mayatku, Dewi Roroyono telah dijodohkan denganku, ujar
Sunan Muria sambil pasang kuda-kuda.
Tanpa
basa basi Pathak Warak melompat dari punggung kuda. Dia merangkak ke arah Sunan
Muria dengan jurus-jurus cakar harimau. Tapi dia bukan tandingan putera Sunan
Kalijaga yang memiliki segudang kesaktian.
Hanya
dalam beberapa kali gebrakan, Pathak Warak telah jatuh atau roboh di tanah
dalam keadaan fatal. Seluruh kesaktiannya lenyap dan ia menjadi lumpuh, tak
mampu untuk bangkit berdiri apalagi berjalan.
Sunan
Muria kemudian meneruskan perjalanan ke Juana. Kedatangannya disambut gembira
oleh Sunan Ngerang. Karena Kapa dan entiri telah bercerita jujur bahwa mereka
sendirilah yang memaksa mengambil alih tugas Sunan Muria mencari Dewi Roroyono,
maka Sunan Ngerang pada akhirnya menjodohkan Dewi Roroyono dengan Sunan Muria.
Upacara pernikahan pun segera dilaksanakan.
Kapa
dan Gentiri yang berjasa besar itu diberi hadiah tanah di desa Buntar. Dengan
hadiah itu keduanya sudah menjadi orang kaya yang hidupnya serba berkecukupan.
Sedang
Sunan Muria memboyong isterinya ke Padepokan Gunung Muria. Mereka hidup
Bahagia, karena merupakan pasangan yang ideal.
Tidak
demikian halnya dengan Kapa dan Gentiri. Sewaktu membawa Dewi Roroyono dari
keling ke Ngerang agaknya mereka terlanjur terpesona oleh kecantikan wanita
jelita itu. Siang malam mereka tidak bisa tidur. Wajah wanita itu senantiasa
terbayang. Namun karena wanita itu sudah diperisteri kakak seperguruannya mereka
tak dapat berbuat apa-apa lagi. Hanya penyesalan yang menghujam didada. Mengapa
mereka dulu terburu-buru menawarkan jasa baiknya. Betapa enaknya Sunan Muria,
tanpa bersusah payah sekarang menikmati kebahagiaan bersama gadis yang mereka
dambakan. Inilah hikmah ajaran agama agar lelaki diharuskan menahan pandangan
matanya dan menjaga kehotmatan (kemaluan) mereka.
Andaikata
Kapa dan Gentiri tidak memandang terus menerus kearah wajah dan tubuh Dewi
Roroyono yang indah itu pasti mereka tidak akan terpesona dan tidak terjerat
oleh iblis yang memasang perangkap pada pandangan mereka.
Kini
Kapa dan Gentiri benar-benar telah dirasuki iblis. Mereka bertekad hendak
merebut Dewi Roroyono dari tangan Sunan Muria. Mereka telah sepakat untuk
menjadikan wanita itu sebagai isteri bersama secara bergiliran. Sungguh keji
rencana mereka.
Gentiri
berangkat lebih dahulu ke Gunung Muria. Namun ketika ia hendak melaksanakan
niatnya dipergoki oleh murid Sunan Muria, terjadilah pertempuran dahsyat.
Apalagi ketika Sunan Muria keluar menghadapi Gentiri, suasana menjadi semakin
panas. Akhirnya gentiri tewas menemui ajalnya di puncak Gunung Muria.
Kematian
Gentiri cepat tersebar ke berbagai daerah. Tapi tidak membuat surut niat Kapa.
Kapa cukup cerdik. Dia datang ke gunung Muria secara diam-diam dimalam hari.
Tak seorangpun yang mengetahuinya.
Kebetulan
pada saat itu Sunan Muria dan beberapa murid pilihannya sedang bepergian ke
Demak Bintoro. Kapa menyerep murid-murid Sunan Muria yang berilmu rendah, yang
ditugaskan menjaga Dewi Roroyono. Kemudian yang dengan mudahnya Kapa menculik
dan membawa wanita impiannya itu ke pulau sprapat.
Pada
saat yang sama, sepulangnya dari Demak Bintoro. Sunan Muria bermaksud
mengadakan kunjungan kepada Wiku Lodhang Datuk di pulau Sprapat. Ini biasanya
dilakukannya bersahabat dengan pemeluk agama lain bukanlah suatu dosa. Terlebih
sang Wiku itu pernah meneolongnya merebut Dewi Roroyono dari Pathak Warak.
Seperti
ajaran Sunan Kalijaga yang mampu hidup berdampingan dengan pemeluk agama lain
dalam suatu negeri. Lalu ditunjukkan akhlak Islam yang mulia dan agung.
Bukannya berdebat tentang perbedaan agama itu sendiri. Dengan menerapkan
ajaran-ajaran akhlak yang mulia itu nyatanya banyak pemeluk agama lain yang
pada akhirnya tertarik dan masuk Islam secara sukarela.
Ternyata,
kedatangan Kapa ke pulau Sparapat itu tidak disambut baik oleh Wiku Lodhang
Datuk.
Memalukan!
Benar-benar nista perbuatanmu itu! Cepat kembalikan isteri kakang seperguruanmu
sendiri itu! Hardik Wiku Lodhang Datuk dengan marah.
Bapa
Guru ini bagaiman, bukakah aku ini muridmu? Mengapa tidak kau bela? Protes
Kapa.
Sampai
matipun aku takkan sudi membela kebejatan budi pekerti walau pelakunya itu
muridku sendiri !
Perdebatan
antara guru dengan murid itu berlangsung lama. Tanpa mereka sadari Sunan Muria
sudah sampai ditempat itu. Betapa terkejutnya Sunan Muria melihat isterinya
sedang tergolek ditanah dalam keadaan terikat kaki dan tangannya. Sementara
Kapa dilihatnya sedang adu mulut dengan gurunya yaitu Wiku Lodhang Datuk.
Begitu
mengetahui kedatangan Sunan Muria, Kapa Langsung melancarkan serangan dengan
jurus-jurus maut. Wiku Lodhang Datuk menjauh, melangkah menuju Dewi Roroyono
untuk membebaskan belenggu yang dilakukan Kapa.
Bersamaan
dengan selesainya sang Wiku membuka tali yang mengikat tubuh Dewi Roroyono.
Tiba-tiba terdengar jeritan keras dari mulut Kapa.
Ternyata
serangan dengan pengerahan aji kesaktian yang dilakukan Kapa berbalik
menghantam dirinya sendiri. Itulah ilmu yang dimiliki Sunan Muria. Mampu
membalikkan serangan lawan.
Karena
Kapa menggunakan aji pamungkas yaitu puncak kesaktian yang dimilikinya maka
ilmu itu akhirnya merenggut nyawanya sendiri.
Maafkan
saya tuan Wiku….,ujar Sunan Muria agak menyesal. Tidak mengapa. Menyesal aku
turut memberikan ilmu kepadanya. Ternyata ilmu itu digunakan untuk jalan
kejahatan, gumam Sang Wiku.
Bagaimanapun
Kapa adalah muridnya, pantaslah kalau dia menguburkannya secara layak.
Pada
akhirnya Dewi Roroyono dan Sunan Muria kembali ke Padepokan dan hidup bahagia.
SUNAN KUDUS
1.Asal
Usul
Menurut salah satu sumber, Sunan
Kudus adalah putera Raden Usman haji yang bergelar Sunan Ngudung dari Jipang
Panolan. Ada yang mengatakan letak Jipang
Panolan ini disebelah utara kota
Blora. Di dalam babad tanah jawa, disebutkan bahwa Sunan Ngudung pernah
memimpin pasukan Majapahit. Sunan ngudung selaku senopati Demak berhadapan
dengan Raden Husain atau Adipati Terung
dari Majapahit. Dalam pertempuran yang sengit dan saling mengeluarkan aji
kesaktian itu Sunan Ngudung gugur sebagai pahlawan sahid. Kedudukannya sebagai
senopati Demak kemudian digantikan oleh sunan Kudus yang puteranya sendiri yang
bernama asli Ja’far Sodiq.
Pasukan Demak hampir saja
menderita kekalahan, namun berkat siasat Sunan Kalijaga, dan bantuan pusaka
Raden Patah yang dibawa dari Palembang kedudukan Demak dan Majapahit akhinya
berimbang. Selanjutnya melalui jalan diplomasi yang dilakukan Patih Wanasalam
dan Sunan Kalijaga, peperangan itu dapat dihentikan. Adipati Terung yang
memimpin laskar Majapahit diajak damai dan bergabung dengan Raden Patah yang
ternyata adalah kakaknya sendiri. Kini keadaan berbalik. Adipati Terung dan
pengikutnya bergabung dengan tentara Demak dan menggempur tentara Majapahit
hingga ke belahan timur. Pada akhirnya perang itu dimenangkan oleh pasukan
Demak.
Guru-gurunya :
Disamping belajar agama kepada
ayahnya sendiri, Ja’far Sodiq juga belajar kepada beberapa ulama terkenal. Diantaranya
kepada Kiai Telingsing, Ki Ageng Ngerang dan Sunan Ampel. Nama asil Kiai
Telingsing ini adalah Ling Sing, beliau adalah seorang ulama dari negeri cina
yang datang ke pulau jawa bersama laksamana jenderal Cheng Hoo. Sebagaimana
disebutkan dalam sejarah, jenderal Cheng Hoo yang beragama Islam itu datang ke
pulau jawa untuk mengadakan tali persahabatan dan menyebarkan agama Islam
melalui perdagangan.
Di jawa, the Ling Sing cukup
dipanggil dengan sebutan Telingsing, beliau tinggal di sebuah daerah subur yang
terletak diantara sungai Tanggulangin dan sungai Juwana sebelah Timur. Disana
beliau bukan hanya mengajarkan Islam, melainkan juga mengajarkan kepada
penduduk seni ukir yang indah.
Banyak yang datang berguru seni
kepada Kiai Telingsing, termasuk Ja’far Sodiq itu sendiri. Dengan belajar
kepada ulama yang berasal dari cina itu, Raden Ja’far Sodiq mewarisi bagian
dari sifat positif masyarakat cina yaitu ketekunan dan kedisiplinan dalam
mengejar atau mencapai cita-cita. Hal ini berpengaruh besar bagi kehidupan
dakwah Ja’far Sodiq dimasa akan datang yaitu tatkala menghadapi masyarakat yang
kebanyakan masih beragama Hindu dan Budha.
Selanjutnya, Raden Ja’far Sodiq
juga berguru kepada Sunan Ampel di Surabaya selama beberapa tahun.
3.Cara
Berdakwah yang Luwes
A.Strategi
Pendekatan kepada Massa
Sunan Kudus termasuk pendukung
gagasan, Sunan Kalijaga dan Sunan Bonang yang menerapkan strategi dakwah kepada
masyarakat sebagai berikut :
1.Membiarkan
dulu adat istiadat dan kepercayaan lama yang sukar dirubah. Mereka sepakat
untuk tidak mempergunakan jalan kekerasan atau radikal menghadapi masyarakat
yang demikian.
2.Bagian
adat yang tidak sesuai dengan ajaran Islam tetapi mudah dirubah maka segera
dihilangkan.
3.Tut
Wuri Handayani, artinya mengikuti dari belakang terhadap kelakuan dan adat
rakyat tetapi diusahakan untuk dapat mempengaruhi sedikit demi sedikit dan
menerapkan prinsip Tut Wuri Hangiseni, artinya mengikuti dari belakang sambil
mengisi ajaran agama Islam.
4.Menghindarkan
konfrontasi secara langsung atau secara keras didalam cara menyiarkan agama
Islam. Dengan prinsip mengambil ikan tetapi tidak mengeruhkan airnya.
5 Pada
akhirnya boleh saja merubah adat dan kepercayaan masyarakat yang tidak sesuai
dengan ajaran Islam tetapi dengan prinsip tidak menghalau masyarakat dari umat
Islam. Kalangan umat Islam yang sudah tebal imannya harus berusaha menarik
simpati masyarakat non muslim agar mau mendekat dan tertarik dengan ajaran
Islam. Hal itu tak bisa mereka lakukan kecuali dengan konsekuen. Sebab dengan
melaksanakan ajaran Islam secara lengkap otomatis tingkah laku dan gerak-gerik
mereka sudah merupakan dakwah nyata yang dapat memikat masyarakat non-muslim.
Strategi dakwah ini diterapkan
oleh Sunan Kalijaga, Sunan Bonang, Sunan Muria, Sunan Kudus dan Sunan Gunung
Jati. Karena siasat mereka dalam berdakwah tak sama dengan garis yang
ditetapkan oleh Sunan Ampel maka mereka disebut kaum Abangan atau Aliran Tuban.
Sedang pendapat Sunan Ampel yang didukung Sunan Giri dan Sunan Drajad disebut
Kaum Putihan atau Aliran Giri.
Namun atas inisiatif Sunan
Kalijaga, kedua pendapat yang berbeda itu pada akhinya dapat dikompromikan.
B.Merangkul
Masyarakat Hindu
Di Kudus pada waktu itu
penduduknya masih banyak yang beragama Hindu dan Budha. Untuk mengajak mereka
masuk Islam tentu bukannya pekerjaan mudah. Terlebih mereka yang masih memeluk
kepercayaan lama dan memegang teguh adat-istiadat lama, jumlahnya tidak sedikit.
Di dalam masyarakat seperti itulah Ja’far Sodiq harus berjuang menegakkan agama.
Pada suatu hari Sunan Kudus
atau Ja’far Sodiq membeli seekor sapi (dalam
riwayat lain disebut Kebo Gumarang). Sapi tersebut berasal dari Hindia, dibawa
para pedagang asing dari kapal besar. Sapi itu ditambatkan dihalaman rumah
Sunan Kudus.
Rakyat Kudus yang kebanyakan
beragama Hindu itu tergerak hatinya, ingin tahu apa yang akan dilakukan Sunan
Kudus terhadap sapi itu. Sapi dalam pandangan Hindu adalah hewan suci yang
menjadi kendaraan para dewa. Menyembelih sapi adalah perbuatan dosa yang dikutuk
para dewa. Lalu apa yang dilakukan Sunan Kudus?
Apakah Sunan Kudus hendak
menyembelih sapi dihadapan rakyat yang kebanyakan justru memujanya dan
menganggap binatang keramat. Itu berarti Sunan Kudus melukai hati rakyatnya
sendiri.
Dalam tempo singkat halaman rumah
Sunan Kudus dibanjiri rakyat, baik yang beragama Islam maupun Budha. Setelah
jumlah penduduk yang datang bertambah banyak, Sunan Kudus keluar dari dalam
rumahnya.
Sedulur-sedulur yang saya hormati,
segenap sanak kadang yang saya cintai, Sunan Kudus membuka suara. Saya melarang
saudara-saudara menyakiti apalagi menyembelih sapi. Sebab diwaktu saya masih
kecil, saya pernah mengalami saat yang berbahaya, hampir mati kehausan lalu
seekor sapi datang menyusui saya.
Mendengar cerita tersebut para
pemeluk agama Hindu terkagum-kagum. Mereka menyangka Ja’far Sodiq itu adalah
titisan dewa Wisnu, maka mereka bersedia mendengarkan ceramahnya. Demi rasa
hormat saya kepada jenis hewn yang pernah menolong saya, maka dengan ini saya
melarang penduduk Kudus menyakiti atau menyembelih sapi. Kontan para penduduk
terpesona atas kisah itu.
Sunan kudus melanjutkan, salah
satu diantara surat-surat Al-Qur’an yaitu surat
yang kedua dinamakan Surat Sapi atau dalam bahasa Arabnya Al-Baqarah, kata
Sunan Kudus.
Masyarakat semakin tertarik. Kok
ada sapi di dalam Al-Qur’an mereka menjadi ingin tahu lebih banyak dan untuk
itulah mereka harus sering-sering datang mendengarkan keterangan Sunan Kudus.
Demikianlah, sesudah simpati itu
berhasil diraih akan lapanglah jalan untuk mengajak masyarakat berduyun-duyun masuk agama Islam.
Bentuk mesjid yang dibuat Sunan
Kudus pun tak jauh bedanya dengan candi-candi milik orang Hindu. Lihatlah menara Kudus yang antik itu, yang
hingga sekarang dikagumi orang di seluruh dunia karena keanehannya. Dengan
bentuknya yang mirip candi itu orang-orang Hindu merasa akrab dan tidak takut
atau segan masuk ke dalam mesjid guna mendengarkan ceramah Sunan Kudus.
C.Merangkul
Masyarakat Budha
Sesudah berhasil menarik umat
Hindu kedalam agama Islam hanya karena sikap toleransi yang tinggi, yaitu
menghormati sapi yang dikeramatkan umat Hindu dan membangun menara mesjid mirip
dengan candi Hindu. Kini Sunan Kudus bermaksud menjaring umat Budha. Caranya? Memang
tidak mudah, harus kreatif dan tidak bersifat memaksa.
Sesudah mesjid berdiri, Sunan
Kudus membuat padasan atau tempat wudhu dengan pancuran yang berjumlah delapan.
Masing-masing pancuran diberi arca kepala kebo gumarang diatasnya. Hal ini
disesuaikan dengan ajaran Budha, “Jalan berlipat delapan” atau Sanghika Marga”
yaitu :
1.
Harus memiliki pengetahuan yang benar
2.
Mengambil keputusan yang benar
3.
Berkata yang benar
4.
Hidup dengan cara yang benar
5.
Bekerja dengan benar
6.
Beribadah dengan benar
7.
Dan menghayati agama dengan benar.
Usahanya pun membuahkan hasil, banyak
umat Budha yang penasaran, untuk itu Sunan Kudus memasang lambang wasiat Budha itu di padasan atau tempat
berwudhu, sehingga mereka berdatangan ke mesjid untuk mendengarkan keterangan
Sunan Kudus.
D.Selamatan Mitoni
Didalam cerita tutur disebutkan
bahwa Sunan Kudus itu pada suatu ketika gagal mengumpulkan rakyat yang masih
berpegang teguh pada adat istiadat lama.
Seperti diketahui, rakyat jawa
banyak melakukan adat istiadat yang aneh, yang kadang kala bertentangan dengan
ajaran Islam, misalnnya berkirim sesaji dikuburan untuk menunjukkan bela
sungkawa atau berduka cita atas meninggalnya salah seorang anggota keluarga, selamatan
neloni. Mitoni dan lain-lain. Sunan Kudus sangat memperhatikan upacara-upacara
ritual tersebut dan berusaha sebaik-baiknya untuk merubah atau mengarahkannya
dalam bentuk Islami. Hal ini dilakukan juga oleh Sunan Kalijaga dan Sunan Muria.
Contohnya, bila seorang isteri
orang jawa hamil tiga bulan maka akan dilakukan acara selamatan yang disebut
mitoni sembari minta kepada dewa bahwa bila anaknya lahir supaya tampan seperti
Arjuna, jika anaknya perempuan supaya cantik seperti Dewi Ratih.
Adat tersebut tidak ditentang
secara keras oleh Sunan Kudus. Melainkan diarahkan dalam bentuk Islami. Acara selataman boleh terus
dilakukan tapi niatnya bukan sekedar kirim sesaji kepada para dewa, melainkan
bersedekah kepada penduduk setempat dan sesaji yang dihidangkan boleh dibawa
pulang. Sedangkan permintaannya langsung kepada Allah dengan harapan anaknya
lahir laki-laki akan berwajah seperti nabi Yusuf, dan bila perempuan seperti
Siti Maryam ibunda Nabi Isa. Untuk itu sang ayah dan ibu harus sering membaca surat Yusuf dan surat
Maryam dalam Al-Qur’an.
Sebelum acara selamatan
dilaksanakan diadakanlah pembacaan Layang Ambiya atau sejarah para Nabi. Biasanya
yang dibaca adalah bab Nabi Yusuf. Hingga sekarang acara pembacaan Layang
Ambiya yang berbentuk tembang Asmarandana, Pucung dll itu masih hidup di
kalangan masyarakat pedesaan.
Berbeda dengan cara lama, pihak
tuan rumah membuat sesaji dari berbagai jenis makanan, kemudian diikrarkan (hajatkan
dihajatan) oleh sang dukun atau tetua masyarakat setelah upacara sakral itu
dilakukan sesajinya tidak boleh dimakan melainkan diletakkan di candi, di
kuburan atau tempat-tempat sunyi dilingkungan tuan rumah.
Ketika pertama kali melaksanakan
gagasannya, Sunan Kudus pernah gagal, yaitu beliau mengundang seluruh
masyarakat. Baik yang Islam maupun yang Hindu dan Budha ke dalam mesjid. Dalam
undangan disebutkan hajat Sunan Kudus yang hendak Mitoni dan bersedekah atas
hamilnya sang isteri yang telah tiga bulan.
Sebelum masuk mesjid, rakyat
harus membasuh kaki dan tangannya dikolam yang sudah disediakan. Dikarenakan
harus membasuh tangan dan kaki inilah banyak rakyat yang tidak mau, terutama
dikalangan Hindu dan Budha. Inilah kesalahan Sunan Kudus. Beliau terlalu
mementingkan pengenalan syariat berwudhu kepada masyarakat, tapi akibatnya
masyarakat malah menjauh. Apa sebabnya? Karena iman mereka atau tauhid mereka
belum terbina.
Maka pada kesempatan lain, Sunan
Kudus mengundang masyarakat lagi. Kali ini tidak usah membasuh tangan dan
kakinya waktu masuk mesjid, hasilnya sungguh luar biasa. Masyarakat berbondong-bondong
memenuhi undangannya, disaat inilah Sunan Kudus menyisipkan bab keimanan dalam
agama Islam secara halus dan menyenangkan rakyat. Caranya menyampaikan materi
cukup cerdik, ketika rakyat tengah memusatkan perhatiannya pada keterangan
sunan Kudus tetapi karena waktu sudah terlalu lama, dan dikuatirkan mereka
jenuh Sunan Kudus mengakhiri ceramahnya.
Cara tersebut kadang mengecewakan,
tapi disitulah letak segi positipnya, rakyat ingin tahu kelanjutan ceramahnya. Dan
pada kesempatan lain mereka datang lagi ke mesjid, baik dengan undangan maupun
tidak, karena ingin tahu itu demikian besar mereka tak peduli lagi pada syarat
yang diajukan Sunan Kudus yaitu membasuh kaki dan tangannya lebih dahulu, yang
lama-lama menjadi kebiasaan untuk berwudhu.
Dengan demikian Sunan Kudus
berhasil menebus kesalahannya dimasa lalu. Rakyat menaruh simpati dan menghormatinya. Cara-cara yang ditempuh
untuk mengislamkan masyarakat cukup banyak. Baik secara langsung melalui
ceramah agama maupun adau kesaktian dan melalui kesenian, beliaulah yang
pertama kali menciptakan tembang Mijil dan Maskumambang. Didalam tembang-tembang
tersebut beliau sisipkan ajaran-ajaran agama Islam.
Sunan Kudus di Negeri Mekkah
Didalam legenda dikisahkan bahwa
Raden Ja’far Sodiq itu suka mengembara, baik ke tanah Hindustan
maupun ke tanah Suci Mekkah.
Sewaktu berada di Mekkah beliau
menunaikan ibadah haji. Dan kebetulan disana ada wabah penyakit yang sukar
diatasi. Penguasa negeri arab mengadakan sayembara, siapa yang berhasil
melenyapkan wabah penyakit itu akan diberi hadiah harta benda yang cukup besar
jumlahnya.
Sudah banyak orang mencoba tapi
tidak pernah berhasil. Pada suatu hari Sunan Kudus atau Ja’far Sodiq menghadap
penguasa negeri itu tapi kedatangannya disambutnya dengan sinis.
Dengan apa tuan akan melenyapkan
wabah penyakit itu? Tanya sang Amir.
Dengan doa jawab Ja’far Sodiq
singkat.
Kalau hanya doa kami sudah
puluhan kali melakukannya, di tanah arab ini banyak ulama dan syekh-syekh
ternama. Tapi mereka tak pernah berhasil mengusir wabah penyakit ini.
Saya mengerti memang tanah arab
ini gudangnya para ulama. Tapi jangan lupa ada saja kekurangannya sehingga doa
mereka tidak terkabulkan, kata Ja’far Sodiq.
Hem, sungguh bernai tuan
mengatakan demikian, kata amir itu dengan nada berang. Apa kekurangan mereka?
Anda sendiri yang menyebabkannya,
kata Ja’far Sodiq dengan tenangnya. Anda telah menjanjikan hadiah yang
menggelapkan mata hati mereka sehingga doa mereka tidak ikhlas. Mereka berdoa
hanya karena mengharapkan hadiah.
Sang Amir pun terbungkam seribu bahasa
atas jawaban itu.
Ja’far Sodiq lalu dipersilahkan
melaksanakan niatnya. Kesempatan itu tak disia-siakan. Secara khusus Ja’far
Sodiq berdoa dan membaca beberapa amalan. Dalam tempo singkat wabah penyakit
mengganas dinegeri arab telah menyingkir. Bahkan beberapa orang yang menderita
sakit keras secara mendadak langsung sembuh.
Bukan main senangnya hati sang
Amir. Rasa kagum mulai menjalari hatinya. Hadiah yang dijanjikannya bermaksud
diberikan kepada Ja’far Sodiq.
Tapi Ja’far Sodiq menolaknya, dia
hanya ingin minta sebuah batu yang berasal dari Baitul Maqdis. Sang Amir
mengijinkannya. Batu itu pun dibawa ke tanah jawa, dipasang di pengimaman
mesjid Kudus yang didirikannya sekembali dari tanah suci. Rakyat kota Kudus pada waktu itu
masih banyak yang beragama Hindu dan Budha. Para wali mengadakan sidang untuk
menentukan siapakah yang pantas berdakwah di kota itu. Pada akhirnya Ja’far Sodiq yang
bertugas didaerah itu. Karena mesjid yang dibangunnya dinamakan Kudus maka
Raden Ja’far Sodiq pada akhirnya disebut Sunan Kudus.
SUNAN DRAJAD
1. Asal
Usul
Nama
asli Sunan Drajad adalah Raden Qosim, beliau putera Sunan Ampel dengan Dewi
Condrowati dan merupakan adik dari Raden Makdum Ibrahim atau Sunan Bonang.Raden
Qosim yang sudah mewarisi ilmu dari ayahnya kemudian diperintah untuk berdakwah
di sebelah barat Gresik yaitu daerah kosong dari ulama besar antara Tuban dan
Gresik.
Raden Qosim memulai perjalanannya dengan naik perahu
dari Gresik sesudah singgah ditempat Sunan Giri. Dalam perjalanan ke arah Barat
itu perahu beliau tiba-tiba dihantam oleh ombak yang besar sehingga menabrak
karang dan hancur. Hampir saja Raden Qosim kehilangan jiwanya. Tapi bila Tuhan
belum menentukan ajal seseorang biar bagaimanapun hebatnya kecelakaan pasti dia
akan selamat, demikian pula halnya dengan Raden Qosim. Secara kebetulan seekor
ikan besar yaitu ikan talang datang kepada Raden Qosim dan beliau pun menaiki
punggung ikan tersebut hingga selamat ke tepi pantai. ..... silahkan
dilanjutkan bacanya
Raden
Qosim sangat bersyukur dapat lolos dari musibah itu. Beliau juga berterima
kasih kepada ikan talang yang telah menolongnya sampai ke tepi pantai. Untuk
itu beliau berpesan kepada anak keturunan beliau untuk tidak memakan daging
ikan talang. Bila pesan ini dilanggar akan mengakibatkan bencana, yaitu ditimpa
penyakit yang tiada obatnya lagi.
Ikan
talang tersebut membawa Raden Qosim hingga ke tepi pantai yang termasuk wilayah
desa Jelag (sekarang termasuk desa Banjarwati), kecamatan Paciran. Di tempat
itu Raden Qosim disambut masyarakat dengan antusias, lebih-lebih setelah mereka
tahu bahwa Raden Qosim adalah putera Sunan Ampel seorang wali besar dan masih
terhitung kerabat kerajaan Majapahit.
Di
desa Jelag itu Raden Qosim mendirikan pesantren, karena caranya menyiarkan
agama Islam yang unik maka banyaklah orang yang datang berguru kepadanya.
Setelah menetap satu tahun di desa Jelag, Raden Qosim mendapat ilham supaya
menuju ke arah selatan, kira-kira berjarak 1 km disana beliau mendirikan
langgar atau surau untuk berdakwah.
Tiga
tahun kemudian secara mantap beliau mendapat petunjuk agar membangun tempat
berdakwah yang strategis yaitu ditempat ketinggian yang disebut Dalem Duwur. Di
bukit yang disebut Dalem Duwur itulah yang sekarang dibangun Museum Sunan
Drajad, adapun makam Sunan Drajad terletak di sebelah barat Museum
tersebut.
Raden
Qosim adalah pendukung aliran putih yang dipimpin oleh Sunan Giri. Artinya
dalam berdakwah menyebarkan agama Islam beliau menganut jalan lurus, jalan yang
tidak berliku-liku. Agama harus diamalkan dengan lurus dan benar sesuai ajaran
Nabi. Tidak boleh dicampur dengan adat dan kepercayaan lama.
Meski
demikian beliau juga mempergunakan kesenian rakyat sebagai alat dakwah, didalam
museum yang terletak disebelah timur makamnya terdapat seperangkat bekas
gamelan Jawa, hal itu menunjukkan betapa tinggi penghargaan Sunan Drajad kepada
kesenian Jawa.
Dalam
catatan sejarah wali songo, Raden Qosim disebut sebagai seorang wali yang
hidupnya paling bersahaja, walau dalam urusan dunia beliau juga rajin mencari
rezeki. Hal itu disebabkan sikap beliau yang dermawan. Dikalangan rakyat
jelata beliau bersifat lemah lembut dan sering menolong mereka yang menderita.
2.
Ajaran Sunan Drajad
yang Terkenal
Ajaran Sunan Drajad bersumber dari :
1.
Al-Quran
2.
Sunnah
3.
Ijma
4.
Qiyas
5.
Ajaran guru dan pendidik
seperti Sunan Ampel
6.
Ajaran dan pemikiran atau
paham yang telah tersebar luas di masyarakat
7.
Tradisi di masyarakat
setempat yang telah ada yang sesuai dengan ajaran Islam, dan
8.
Fatwa Sunan Drajad sendiri.
Diantara ajaran beliau yang terkenal adalah sebagai berikut:
Menehono teken marang wong wuto
Menehono mangan marang wong kan
luwe
Menehono busono marang wong kang mudo
Menehono ngiyup marang wong kang kudanan
Artinya kurang lebih demikian :
Berilah tongkat kepada orang buta
Berilah makan kepada orang yang kelaparan
Berilah pakaian kepada orang yang telanjang
Berilah tempat berteduh kepada orang yang kehujanan
Adapun
maksudnya adalah sebagai berikut: Berilah petunjuk kepada orang bodoh (buta)
Sejahterkanlah kehidupan rakyat yang miskin (kurang makan) Ajarkanlah budi
pekerti (etika) kepada yang tidak tahu malu atau belum punya adab tinggi.
Berilah perlindungan kepada orang-orang yang menderita atau ditimpa bencana.
Ajaran ini sangat supel, siapapun dapat mengamalkannya sesuai dengan tingkat
dan kemampuan masing-masing. Bahkan pemeluk agama lainpun tidak berkeberatan
untuk mengamalkannya.
Tentang
puncak ma’rifat Sunan Drajad menuliskan perumpaannya sebagai berikut :
“Ilang, jenenge kawula,
Sirna datang ana keri,
Pan ilangwujudira,
Tegese wujude widi,
Ilang wujude iki,
Aneggih perlambangira,
Lir lintang karahinan,
Keserodotan sang hyang rawi,
Artinya:
Hilang jati diri makhluk,
Lenyap tiada tersisa,
Karena hilang wujud keberadaannya
Itulah juga wujud Tuhan,
Itulah yang ada ini,
Adapun persamaannya,
Seperti bintang diwaktu siang
Yang tersinari matahari.
Disamping
terkenal sebagai seorang wali yang berjiwa dermawan dan sosial, beliau jua
dikenal sebagai anggota wali songo yang turut serta mendukung dinasti Demak dan
ikut pula mendirikan mesjid Demak. Simbol kebesaran umat Islam pada waktu itu.
Dibidang
kesenian, disamping terkenal sebagai ahli ukir beliau juga pertama kali yang
menciptakan Gending Pangkur, hingga sekarang gending tersebut masih disukai
rakyat jawa. Sunan Drajad demikian gelar Raden Qosim, diberikan kepada beliau
karena beliau bertempat tinggal di sebuah bukit yang tinggi, seakan
melambangkan tingkat ilmunya yang tinggi, yaitu tingkat atau dejat para ulama
muqarrobin. Ulama yang dekat dengan Allah SWT.
Langganan:
Postingan (Atom)