1.Asal
Usul
Menurut salah satu sumber, Sunan
Kudus adalah putera Raden Usman haji yang bergelar Sunan Ngudung dari Jipang
Panolan. Ada yang mengatakan letak Jipang
Panolan ini disebelah utara kota
Blora. Di dalam babad tanah jawa, disebutkan bahwa Sunan Ngudung pernah
memimpin pasukan Majapahit. Sunan ngudung selaku senopati Demak berhadapan
dengan Raden Husain atau Adipati Terung
dari Majapahit. Dalam pertempuran yang sengit dan saling mengeluarkan aji
kesaktian itu Sunan Ngudung gugur sebagai pahlawan sahid. Kedudukannya sebagai
senopati Demak kemudian digantikan oleh sunan Kudus yang puteranya sendiri yang
bernama asli Ja’far Sodiq.
Pasukan Demak hampir saja
menderita kekalahan, namun berkat siasat Sunan Kalijaga, dan bantuan pusaka
Raden Patah yang dibawa dari Palembang kedudukan Demak dan Majapahit akhinya
berimbang. Selanjutnya melalui jalan diplomasi yang dilakukan Patih Wanasalam
dan Sunan Kalijaga, peperangan itu dapat dihentikan. Adipati Terung yang
memimpin laskar Majapahit diajak damai dan bergabung dengan Raden Patah yang
ternyata adalah kakaknya sendiri. Kini keadaan berbalik. Adipati Terung dan
pengikutnya bergabung dengan tentara Demak dan menggempur tentara Majapahit
hingga ke belahan timur. Pada akhirnya perang itu dimenangkan oleh pasukan
Demak.
Guru-gurunya :
Disamping belajar agama kepada
ayahnya sendiri, Ja’far Sodiq juga belajar kepada beberapa ulama terkenal. Diantaranya
kepada Kiai Telingsing, Ki Ageng Ngerang dan Sunan Ampel. Nama asil Kiai
Telingsing ini adalah Ling Sing, beliau adalah seorang ulama dari negeri cina
yang datang ke pulau jawa bersama laksamana jenderal Cheng Hoo. Sebagaimana
disebutkan dalam sejarah, jenderal Cheng Hoo yang beragama Islam itu datang ke
pulau jawa untuk mengadakan tali persahabatan dan menyebarkan agama Islam
melalui perdagangan.
Di jawa, the Ling Sing cukup
dipanggil dengan sebutan Telingsing, beliau tinggal di sebuah daerah subur yang
terletak diantara sungai Tanggulangin dan sungai Juwana sebelah Timur. Disana
beliau bukan hanya mengajarkan Islam, melainkan juga mengajarkan kepada
penduduk seni ukir yang indah.
Banyak yang datang berguru seni
kepada Kiai Telingsing, termasuk Ja’far Sodiq itu sendiri. Dengan belajar
kepada ulama yang berasal dari cina itu, Raden Ja’far Sodiq mewarisi bagian
dari sifat positif masyarakat cina yaitu ketekunan dan kedisiplinan dalam
mengejar atau mencapai cita-cita. Hal ini berpengaruh besar bagi kehidupan
dakwah Ja’far Sodiq dimasa akan datang yaitu tatkala menghadapi masyarakat yang
kebanyakan masih beragama Hindu dan Budha.
Selanjutnya, Raden Ja’far Sodiq
juga berguru kepada Sunan Ampel di Surabaya selama beberapa tahun.
3.Cara
Berdakwah yang Luwes
A.Strategi
Pendekatan kepada Massa
Sunan Kudus termasuk pendukung
gagasan, Sunan Kalijaga dan Sunan Bonang yang menerapkan strategi dakwah kepada
masyarakat sebagai berikut :
1.Membiarkan
dulu adat istiadat dan kepercayaan lama yang sukar dirubah. Mereka sepakat
untuk tidak mempergunakan jalan kekerasan atau radikal menghadapi masyarakat
yang demikian.
2.Bagian
adat yang tidak sesuai dengan ajaran Islam tetapi mudah dirubah maka segera
dihilangkan.
3.Tut
Wuri Handayani, artinya mengikuti dari belakang terhadap kelakuan dan adat
rakyat tetapi diusahakan untuk dapat mempengaruhi sedikit demi sedikit dan
menerapkan prinsip Tut Wuri Hangiseni, artinya mengikuti dari belakang sambil
mengisi ajaran agama Islam.
4.Menghindarkan
konfrontasi secara langsung atau secara keras didalam cara menyiarkan agama
Islam. Dengan prinsip mengambil ikan tetapi tidak mengeruhkan airnya.
5 Pada
akhirnya boleh saja merubah adat dan kepercayaan masyarakat yang tidak sesuai
dengan ajaran Islam tetapi dengan prinsip tidak menghalau masyarakat dari umat
Islam. Kalangan umat Islam yang sudah tebal imannya harus berusaha menarik
simpati masyarakat non muslim agar mau mendekat dan tertarik dengan ajaran
Islam. Hal itu tak bisa mereka lakukan kecuali dengan konsekuen. Sebab dengan
melaksanakan ajaran Islam secara lengkap otomatis tingkah laku dan gerak-gerik
mereka sudah merupakan dakwah nyata yang dapat memikat masyarakat non-muslim.
Strategi dakwah ini diterapkan
oleh Sunan Kalijaga, Sunan Bonang, Sunan Muria, Sunan Kudus dan Sunan Gunung
Jati. Karena siasat mereka dalam berdakwah tak sama dengan garis yang
ditetapkan oleh Sunan Ampel maka mereka disebut kaum Abangan atau Aliran Tuban.
Sedang pendapat Sunan Ampel yang didukung Sunan Giri dan Sunan Drajad disebut
Kaum Putihan atau Aliran Giri.
Namun atas inisiatif Sunan
Kalijaga, kedua pendapat yang berbeda itu pada akhinya dapat dikompromikan.
B.Merangkul
Masyarakat Hindu
Di Kudus pada waktu itu
penduduknya masih banyak yang beragama Hindu dan Budha. Untuk mengajak mereka
masuk Islam tentu bukannya pekerjaan mudah. Terlebih mereka yang masih memeluk
kepercayaan lama dan memegang teguh adat-istiadat lama, jumlahnya tidak sedikit.
Di dalam masyarakat seperti itulah Ja’far Sodiq harus berjuang menegakkan agama.
Pada suatu hari Sunan Kudus
atau Ja’far Sodiq membeli seekor sapi (dalam
riwayat lain disebut Kebo Gumarang). Sapi tersebut berasal dari Hindia, dibawa
para pedagang asing dari kapal besar. Sapi itu ditambatkan dihalaman rumah
Sunan Kudus.
Rakyat Kudus yang kebanyakan
beragama Hindu itu tergerak hatinya, ingin tahu apa yang akan dilakukan Sunan
Kudus terhadap sapi itu. Sapi dalam pandangan Hindu adalah hewan suci yang
menjadi kendaraan para dewa. Menyembelih sapi adalah perbuatan dosa yang dikutuk
para dewa. Lalu apa yang dilakukan Sunan Kudus?
Apakah Sunan Kudus hendak
menyembelih sapi dihadapan rakyat yang kebanyakan justru memujanya dan
menganggap binatang keramat. Itu berarti Sunan Kudus melukai hati rakyatnya
sendiri.
Dalam tempo singkat halaman rumah
Sunan Kudus dibanjiri rakyat, baik yang beragama Islam maupun Budha. Setelah
jumlah penduduk yang datang bertambah banyak, Sunan Kudus keluar dari dalam
rumahnya.
Sedulur-sedulur yang saya hormati,
segenap sanak kadang yang saya cintai, Sunan Kudus membuka suara. Saya melarang
saudara-saudara menyakiti apalagi menyembelih sapi. Sebab diwaktu saya masih
kecil, saya pernah mengalami saat yang berbahaya, hampir mati kehausan lalu
seekor sapi datang menyusui saya.
Mendengar cerita tersebut para
pemeluk agama Hindu terkagum-kagum. Mereka menyangka Ja’far Sodiq itu adalah
titisan dewa Wisnu, maka mereka bersedia mendengarkan ceramahnya. Demi rasa
hormat saya kepada jenis hewn yang pernah menolong saya, maka dengan ini saya
melarang penduduk Kudus menyakiti atau menyembelih sapi. Kontan para penduduk
terpesona atas kisah itu.
Sunan kudus melanjutkan, salah
satu diantara surat-surat Al-Qur’an yaitu surat
yang kedua dinamakan Surat Sapi atau dalam bahasa Arabnya Al-Baqarah, kata
Sunan Kudus.
Masyarakat semakin tertarik. Kok
ada sapi di dalam Al-Qur’an mereka menjadi ingin tahu lebih banyak dan untuk
itulah mereka harus sering-sering datang mendengarkan keterangan Sunan Kudus.
Demikianlah, sesudah simpati itu
berhasil diraih akan lapanglah jalan untuk mengajak masyarakat berduyun-duyun masuk agama Islam.
Bentuk mesjid yang dibuat Sunan
Kudus pun tak jauh bedanya dengan candi-candi milik orang Hindu. Lihatlah menara Kudus yang antik itu, yang
hingga sekarang dikagumi orang di seluruh dunia karena keanehannya. Dengan
bentuknya yang mirip candi itu orang-orang Hindu merasa akrab dan tidak takut
atau segan masuk ke dalam mesjid guna mendengarkan ceramah Sunan Kudus.
C.Merangkul
Masyarakat Budha
Sesudah berhasil menarik umat
Hindu kedalam agama Islam hanya karena sikap toleransi yang tinggi, yaitu
menghormati sapi yang dikeramatkan umat Hindu dan membangun menara mesjid mirip
dengan candi Hindu. Kini Sunan Kudus bermaksud menjaring umat Budha. Caranya? Memang
tidak mudah, harus kreatif dan tidak bersifat memaksa.
Sesudah mesjid berdiri, Sunan
Kudus membuat padasan atau tempat wudhu dengan pancuran yang berjumlah delapan.
Masing-masing pancuran diberi arca kepala kebo gumarang diatasnya. Hal ini
disesuaikan dengan ajaran Budha, “Jalan berlipat delapan” atau Sanghika Marga”
yaitu :
1.
Harus memiliki pengetahuan yang benar
2.
Mengambil keputusan yang benar
3.
Berkata yang benar
4.
Hidup dengan cara yang benar
5.
Bekerja dengan benar
6.
Beribadah dengan benar
7.
Dan menghayati agama dengan benar.
Usahanya pun membuahkan hasil, banyak
umat Budha yang penasaran, untuk itu Sunan Kudus memasang lambang wasiat Budha itu di padasan atau tempat
berwudhu, sehingga mereka berdatangan ke mesjid untuk mendengarkan keterangan
Sunan Kudus.
D.Selamatan Mitoni
Didalam cerita tutur disebutkan
bahwa Sunan Kudus itu pada suatu ketika gagal mengumpulkan rakyat yang masih
berpegang teguh pada adat istiadat lama.
Seperti diketahui, rakyat jawa
banyak melakukan adat istiadat yang aneh, yang kadang kala bertentangan dengan
ajaran Islam, misalnnya berkirim sesaji dikuburan untuk menunjukkan bela
sungkawa atau berduka cita atas meninggalnya salah seorang anggota keluarga, selamatan
neloni. Mitoni dan lain-lain. Sunan Kudus sangat memperhatikan upacara-upacara
ritual tersebut dan berusaha sebaik-baiknya untuk merubah atau mengarahkannya
dalam bentuk Islami. Hal ini dilakukan juga oleh Sunan Kalijaga dan Sunan Muria.
Contohnya, bila seorang isteri
orang jawa hamil tiga bulan maka akan dilakukan acara selamatan yang disebut
mitoni sembari minta kepada dewa bahwa bila anaknya lahir supaya tampan seperti
Arjuna, jika anaknya perempuan supaya cantik seperti Dewi Ratih.
Adat tersebut tidak ditentang
secara keras oleh Sunan Kudus. Melainkan diarahkan dalam bentuk Islami. Acara selataman boleh terus
dilakukan tapi niatnya bukan sekedar kirim sesaji kepada para dewa, melainkan
bersedekah kepada penduduk setempat dan sesaji yang dihidangkan boleh dibawa
pulang. Sedangkan permintaannya langsung kepada Allah dengan harapan anaknya
lahir laki-laki akan berwajah seperti nabi Yusuf, dan bila perempuan seperti
Siti Maryam ibunda Nabi Isa. Untuk itu sang ayah dan ibu harus sering membaca surat Yusuf dan surat
Maryam dalam Al-Qur’an.
Sebelum acara selamatan
dilaksanakan diadakanlah pembacaan Layang Ambiya atau sejarah para Nabi. Biasanya
yang dibaca adalah bab Nabi Yusuf. Hingga sekarang acara pembacaan Layang
Ambiya yang berbentuk tembang Asmarandana, Pucung dll itu masih hidup di
kalangan masyarakat pedesaan.
Berbeda dengan cara lama, pihak
tuan rumah membuat sesaji dari berbagai jenis makanan, kemudian diikrarkan (hajatkan
dihajatan) oleh sang dukun atau tetua masyarakat setelah upacara sakral itu
dilakukan sesajinya tidak boleh dimakan melainkan diletakkan di candi, di
kuburan atau tempat-tempat sunyi dilingkungan tuan rumah.
Ketika pertama kali melaksanakan
gagasannya, Sunan Kudus pernah gagal, yaitu beliau mengundang seluruh
masyarakat. Baik yang Islam maupun yang Hindu dan Budha ke dalam mesjid. Dalam
undangan disebutkan hajat Sunan Kudus yang hendak Mitoni dan bersedekah atas
hamilnya sang isteri yang telah tiga bulan.
Sebelum masuk mesjid, rakyat
harus membasuh kaki dan tangannya dikolam yang sudah disediakan. Dikarenakan
harus membasuh tangan dan kaki inilah banyak rakyat yang tidak mau, terutama
dikalangan Hindu dan Budha. Inilah kesalahan Sunan Kudus. Beliau terlalu
mementingkan pengenalan syariat berwudhu kepada masyarakat, tapi akibatnya
masyarakat malah menjauh. Apa sebabnya? Karena iman mereka atau tauhid mereka
belum terbina.
Maka pada kesempatan lain, Sunan
Kudus mengundang masyarakat lagi. Kali ini tidak usah membasuh tangan dan
kakinya waktu masuk mesjid, hasilnya sungguh luar biasa. Masyarakat berbondong-bondong
memenuhi undangannya, disaat inilah Sunan Kudus menyisipkan bab keimanan dalam
agama Islam secara halus dan menyenangkan rakyat. Caranya menyampaikan materi
cukup cerdik, ketika rakyat tengah memusatkan perhatiannya pada keterangan
sunan Kudus tetapi karena waktu sudah terlalu lama, dan dikuatirkan mereka
jenuh Sunan Kudus mengakhiri ceramahnya.
Cara tersebut kadang mengecewakan,
tapi disitulah letak segi positipnya, rakyat ingin tahu kelanjutan ceramahnya. Dan
pada kesempatan lain mereka datang lagi ke mesjid, baik dengan undangan maupun
tidak, karena ingin tahu itu demikian besar mereka tak peduli lagi pada syarat
yang diajukan Sunan Kudus yaitu membasuh kaki dan tangannya lebih dahulu, yang
lama-lama menjadi kebiasaan untuk berwudhu.
Dengan demikian Sunan Kudus
berhasil menebus kesalahannya dimasa lalu. Rakyat menaruh simpati dan menghormatinya. Cara-cara yang ditempuh
untuk mengislamkan masyarakat cukup banyak. Baik secara langsung melalui
ceramah agama maupun adau kesaktian dan melalui kesenian, beliaulah yang
pertama kali menciptakan tembang Mijil dan Maskumambang. Didalam tembang-tembang
tersebut beliau sisipkan ajaran-ajaran agama Islam.
Sunan Kudus di Negeri Mekkah
Didalam legenda dikisahkan bahwa
Raden Ja’far Sodiq itu suka mengembara, baik ke tanah Hindustan
maupun ke tanah Suci Mekkah.
Sewaktu berada di Mekkah beliau
menunaikan ibadah haji. Dan kebetulan disana ada wabah penyakit yang sukar
diatasi. Penguasa negeri arab mengadakan sayembara, siapa yang berhasil
melenyapkan wabah penyakit itu akan diberi hadiah harta benda yang cukup besar
jumlahnya.
Sudah banyak orang mencoba tapi
tidak pernah berhasil. Pada suatu hari Sunan Kudus atau Ja’far Sodiq menghadap
penguasa negeri itu tapi kedatangannya disambutnya dengan sinis.
Dengan apa tuan akan melenyapkan
wabah penyakit itu? Tanya sang Amir.
Dengan doa jawab Ja’far Sodiq
singkat.
Kalau hanya doa kami sudah
puluhan kali melakukannya, di tanah arab ini banyak ulama dan syekh-syekh
ternama. Tapi mereka tak pernah berhasil mengusir wabah penyakit ini.
Saya mengerti memang tanah arab
ini gudangnya para ulama. Tapi jangan lupa ada saja kekurangannya sehingga doa
mereka tidak terkabulkan, kata Ja’far Sodiq.
Hem, sungguh bernai tuan
mengatakan demikian, kata amir itu dengan nada berang. Apa kekurangan mereka?
Anda sendiri yang menyebabkannya,
kata Ja’far Sodiq dengan tenangnya. Anda telah menjanjikan hadiah yang
menggelapkan mata hati mereka sehingga doa mereka tidak ikhlas. Mereka berdoa
hanya karena mengharapkan hadiah.
Sang Amir pun terbungkam seribu bahasa
atas jawaban itu.
Ja’far Sodiq lalu dipersilahkan
melaksanakan niatnya. Kesempatan itu tak disia-siakan. Secara khusus Ja’far
Sodiq berdoa dan membaca beberapa amalan. Dalam tempo singkat wabah penyakit
mengganas dinegeri arab telah menyingkir. Bahkan beberapa orang yang menderita
sakit keras secara mendadak langsung sembuh.
Bukan main senangnya hati sang
Amir. Rasa kagum mulai menjalari hatinya. Hadiah yang dijanjikannya bermaksud
diberikan kepada Ja’far Sodiq.
Tapi Ja’far Sodiq menolaknya, dia
hanya ingin minta sebuah batu yang berasal dari Baitul Maqdis. Sang Amir
mengijinkannya. Batu itu pun dibawa ke tanah jawa, dipasang di pengimaman
mesjid Kudus yang didirikannya sekembali dari tanah suci. Rakyat kota Kudus pada waktu itu
masih banyak yang beragama Hindu dan Budha. Para wali mengadakan sidang untuk
menentukan siapakah yang pantas berdakwah di kota itu. Pada akhirnya Ja’far Sodiq yang
bertugas didaerah itu. Karena mesjid yang dibangunnya dinamakan Kudus maka
Raden Ja’far Sodiq pada akhirnya disebut Sunan Kudus.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar